TNI Bentuk Batalyon di Setiap Kabupaten? Ikhsan Yosarie Menyatakan Penyusunan Kebijakan yang Tidak Berbasis UU TNI.
Penerbit Tirto.id mendapatkan keterangan dari Sekretaris Utama SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, terkait rencana Pembentukan Batalyon Infanteri Baru di Setiap Kabupaten. Menurut Ikhsan, rencana ini memperlihatkan penyusunan kebijakan yang tidak berbasis pada ketentuan Undang-Undang TNI Tahun 2004 dan hasil revisi UU TNI.
Dalam bagian penjelasan, terdapat penekanan bahwa dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis. Menurut Ikhsan, pembangunan dan penggelaran kekuatan TNI seharusnya memperhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik, serta pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis dan strategi pertahanan.
Dengan demikian, pembangunan batalyon di seluruh wilayah kabupaten disebut memiliki semangat yang berbeda, serta bertentangan dengan ketentuan tersebut. Ikhsan menuturkan bahwa rencana ini juga dapat menandakan potensi rekonsolidasi militerisme struktural di Indonesia alias langkah mundur dari semangat reformasi politik dan demokrasi 1998.
Ia menyatakan, bila dibiarkan tanpa pengawasan ketat, ide ini bisa mengancam supremasi sipil, memperlemah kontrol publik terhadap militer, dan bahkan membuka jalan bagi regresi demokrasi melalui militarisasi politik lokal. Terlebih belum ada kajian dan/atau bukti kuat bahwa setiap kabupaten memerlukan unit tempur permanen, karena sebagian besar tantangan keamanan domestik merupakan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum, bukan pertahanan militer.
Ikhsan menambahkan, dengan menempatkan satuan tempur di setiap kabupaten, negara secara tidak langsung membuka ruang bagi kembalinya peran TNI sebagai aktor dominan dalam dinamika daerah. Kebijakan ini menunjukkan bagaimana logika keamanan negara cenderung menggeser logika demokrasi. Alih-alih membangun institusi sipil yang kuat, negara justru memperluas instrumen koersifnya.
Penerbit Tirto.id mendapatkan keterangan dari Sekretaris Utama SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, terkait rencana Pembentukan Batalyon Infanteri Baru di Setiap Kabupaten. Menurut Ikhsan, rencana ini memperlihatkan penyusunan kebijakan yang tidak berbasis pada ketentuan Undang-Undang TNI Tahun 2004 dan hasil revisi UU TNI.
Dalam bagian penjelasan, terdapat penekanan bahwa dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis. Menurut Ikhsan, pembangunan dan penggelaran kekuatan TNI seharusnya memperhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik, serta pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis dan strategi pertahanan.
Dengan demikian, pembangunan batalyon di seluruh wilayah kabupaten disebut memiliki semangat yang berbeda, serta bertentangan dengan ketentuan tersebut. Ikhsan menuturkan bahwa rencana ini juga dapat menandakan potensi rekonsolidasi militerisme struktural di Indonesia alias langkah mundur dari semangat reformasi politik dan demokrasi 1998.
Ia menyatakan, bila dibiarkan tanpa pengawasan ketat, ide ini bisa mengancam supremasi sipil, memperlemah kontrol publik terhadap militer, dan bahkan membuka jalan bagi regresi demokrasi melalui militarisasi politik lokal. Terlebih belum ada kajian dan/atau bukti kuat bahwa setiap kabupaten memerlukan unit tempur permanen, karena sebagian besar tantangan keamanan domestik merupakan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum, bukan pertahanan militer.
Ikhsan menambahkan, dengan menempatkan satuan tempur di setiap kabupaten, negara secara tidak langsung membuka ruang bagi kembalinya peran TNI sebagai aktor dominan dalam dinamika daerah. Kebijakan ini menunjukkan bagaimana logika keamanan negara cenderung menggeser logika demokrasi. Alih-alih membangun institusi sipil yang kuat, negara justru memperluas instrumen koersifnya.