Pemerintah Indonesia Mulai Debati Aturan Pidana Mati dengan Serius
Setelah lebih dari setengah abad, Indonesia masih belum memilikiaturan yang jelas tentang pelaksanaan pidana mati. Pada bulan Oktober lalu, pemerintah menggelar uji publik untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Dalam uji publik ini, Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Eddy Hiariej menyampaikan bahwa tujuan dari RUU ini adalah memberikan jaminan pelindungan bagi terpidana mati berdasarkan prinsip hak asasi manusia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Eddy juga menjelaskan bahwa RUU ini akan masuk dalam prioritas tahun 2025 melalui keputusan DPR RI Nomor 23/DPR RI/I/2025-2026 tentang Perubahan Prolegnas RUU Tahun 2025-2029 dan perubahan Kedua Prolegnas Prioritas Tahun 2025.
Salah satu perbedaan utama dari Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1964 dengan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati adalah perbandingan hak, kewajiban, dan persyaratan terpidana mati. Eddy menyebutkan bahwa dalam RUU ini, terpidana mati akan mendapatkan fasilitas hunian yang layak, mendapat kemudahan untuk menghubungi keluarga dan/atau kerabat pasca penetapan pelaksanaan pidana mati, serta dapat mengajukan tempat pelaksanaan pidana mati dan/atau permintaan lokasi dan tata cara penguburan.
Selain itu, Eddy juga menyampaikan bahwa syarat pelaksanaan pidana mati yakni selama masa percobaan terpidana mati tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, telah mengajukan grasi, dan berada dalam kondisi sehat. Dia juga menyebutkan usulan pertimbangan pilihan dalam pelaksanaan pidana mati, seperti injeksi atau kursi listrik.
Pembahasan tentang pelaksanaan pidana mati ini diharapkan dapat membantu memberikan kepastian dan keamanan bagi masyarakat. Namun, masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab tentang bagaimana pelaksanaan pidana mati harus dilakukan dengan benar dan adil.
Setelah lebih dari setengah abad, Indonesia masih belum memilikiaturan yang jelas tentang pelaksanaan pidana mati. Pada bulan Oktober lalu, pemerintah menggelar uji publik untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Dalam uji publik ini, Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Eddy Hiariej menyampaikan bahwa tujuan dari RUU ini adalah memberikan jaminan pelindungan bagi terpidana mati berdasarkan prinsip hak asasi manusia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Eddy juga menjelaskan bahwa RUU ini akan masuk dalam prioritas tahun 2025 melalui keputusan DPR RI Nomor 23/DPR RI/I/2025-2026 tentang Perubahan Prolegnas RUU Tahun 2025-2029 dan perubahan Kedua Prolegnas Prioritas Tahun 2025.
Salah satu perbedaan utama dari Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1964 dengan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati adalah perbandingan hak, kewajiban, dan persyaratan terpidana mati. Eddy menyebutkan bahwa dalam RUU ini, terpidana mati akan mendapatkan fasilitas hunian yang layak, mendapat kemudahan untuk menghubungi keluarga dan/atau kerabat pasca penetapan pelaksanaan pidana mati, serta dapat mengajukan tempat pelaksanaan pidana mati dan/atau permintaan lokasi dan tata cara penguburan.
Selain itu, Eddy juga menyampaikan bahwa syarat pelaksanaan pidana mati yakni selama masa percobaan terpidana mati tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, telah mengajukan grasi, dan berada dalam kondisi sehat. Dia juga menyebutkan usulan pertimbangan pilihan dalam pelaksanaan pidana mati, seperti injeksi atau kursi listrik.
Pembahasan tentang pelaksanaan pidana mati ini diharapkan dapat membantu memberikan kepastian dan keamanan bagi masyarakat. Namun, masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab tentang bagaimana pelaksanaan pidana mati harus dilakukan dengan benar dan adil.