Pemerintah Indonesia mengalami kekalahan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam perkara sengketa lahan Hotel Sultan. Pihak pemerintah melalui Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg) dan Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) merasa kecewa dan menilai perlu dibuka suara publik untuk memahami apa yang sebenarnya menjadi objek sengketa. Menurut kuasa hukum Menteri Sekretaris Negara, Kharis Sucipto, perkara di PTUN hanya menyasar tindakan somasi Kemensetneg, bukan status hukum lahan atau putusan perdata yang sudah ada sebelumnya.
Objek perkara dalam Putusan PTUN adalah somasi Menteri Sekretaris Negara sebagai pemegang Hak Penggunaan Lahan (HPL) No. 1/Gelora yang dikirimkan kepada PT Indobuildco pada Desember 2024 dan Maret 2025. Somasi tersebut meminta pembayaran royalti dan pengosongan tanah eks HGB No. 26/Gelora dan eks HGB No. 27/Gelora. Langkah somasi ini bukan tindakan sepihak, melainkan bentuk penegakan hak keperdataan negara atas aset yang sudah habis masa Hak Guna Bangunannya.
Menurut Kharis, langkah tersebut merupakan implementasi hak keperdataan Menteri Sekretaris Negara sebagai upaya penyelamatan aset negara. Pemerintah berkewajiban menjaga aset negara dari penggunaan tanpa izin. Putusan PTUN yang membatalkan somasi tersebut menurutnya menjadi hal yang mengejutkan, karena pertimbangan majelis yang menyatakan belum adanya putusan berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pembatalan somasi justru mengaburkan hubungan perdata antara negara dan pengelola lama Hotel Sultan.
Meski demikian, pemerintah menegaskan putusan tersebut tidak mengganggu eksekusi perkara perdata yang telah dimenangkan oleh negara. Kharis menekankan bahwa PTUN hanya menguji aspek administratif, bukan putusan perdata yang bersifat serta-merta dan bisa dijalankan terlebih dahulu.
Dengan demikian, Kemensetneg dan PPKGBK berencana melakukan upaya hukum banding sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Langkah ini bertujuan untuk tidak ada preseden yang melemahkan posisi negara dalam menegakkan hak atas aset-aset strategis.
Objek perkara dalam Putusan PTUN adalah somasi Menteri Sekretaris Negara sebagai pemegang Hak Penggunaan Lahan (HPL) No. 1/Gelora yang dikirimkan kepada PT Indobuildco pada Desember 2024 dan Maret 2025. Somasi tersebut meminta pembayaran royalti dan pengosongan tanah eks HGB No. 26/Gelora dan eks HGB No. 27/Gelora. Langkah somasi ini bukan tindakan sepihak, melainkan bentuk penegakan hak keperdataan negara atas aset yang sudah habis masa Hak Guna Bangunannya.
Menurut Kharis, langkah tersebut merupakan implementasi hak keperdataan Menteri Sekretaris Negara sebagai upaya penyelamatan aset negara. Pemerintah berkewajiban menjaga aset negara dari penggunaan tanpa izin. Putusan PTUN yang membatalkan somasi tersebut menurutnya menjadi hal yang mengejutkan, karena pertimbangan majelis yang menyatakan belum adanya putusan berkekuatan hukum tetap sebagai dasar pembatalan somasi justru mengaburkan hubungan perdata antara negara dan pengelola lama Hotel Sultan.
Meski demikian, pemerintah menegaskan putusan tersebut tidak mengganggu eksekusi perkara perdata yang telah dimenangkan oleh negara. Kharis menekankan bahwa PTUN hanya menguji aspek administratif, bukan putusan perdata yang bersifat serta-merta dan bisa dijalankan terlebih dahulu.
Dengan demikian, Kemensetneg dan PPKGBK berencana melakukan upaya hukum banding sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Langkah ini bertujuan untuk tidak ada preseden yang melemahkan posisi negara dalam menegakkan hak atas aset-aset strategis.