Menguak Tren Job Hugging, Ketika Karyawan Takut Resign Gara-gara Pasar Kerja Makin Suram
Tren job hugging, yang mengacu pada kondisi pekerja memilih bertahan di tempat kerja mereka meskipun tidak bahagia atau setia pada perusahaan, kini berbalik arah. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang berani resign karena yakin mudah mendapatkan peluang baru, tetapi sekarang tren ini berubah menjadi lawan.
Fenomena ini muncul karena banyak perusahaan membuka lowongan tanpa benar-benar berniat merekrut. Posisi yang diiklankan sering kali hanya formalitas, sementara di sisi lain, beberapa perusahaan justru menggantikan tenaga manusia dengan teknologi.
Pekerja merasa lebih aman untuk bertahan daripada harus menghadapi risiko penolakan saat mencari pekerjaan baru. "Astaga, saya bahkan tidak bisa menyebutnya kompetitif lagi saat ini. Saya sudah mengirimkan begitu banyak lamaran, tetapi hanya mendapat penolakan langsung atau tidak ada kabar sama sekali," curhat seorang pencari kerja.
Situasi ini menjadi semakin sulit bagi para lulusan baru. Mereka tidak memenuhi syarat untuk posisi senior yang kini menuntut pengalaman tinggi, namun juga kesulitan menemukan posisi pemula karena sedikit pekerja yang bersedia resign.
Fenomena job hugging didorong oleh rasa takut dan kelengahan. "Kenyamanan perlahan berubah menjadi kelengahan," ujarnya Mary Cavanaugh, Wakil Presiden Senior Manajemen Karier di Keystone Partners. "Salah satu dampak negatif dari job hugging adalah ketika seseorang bertahan terlalu lama karena rasa takut dan sikap pasif. Itu tidak membantu perkembangan karier maupun organisasi."
Faktor ekonomi juga berperan besar dalam fenomena ini. Setelah sistem pensiun di banyak perusahaan dihapus, cara paling umum untuk menaikkan gaji biasanya adalah pindah kerja dan menegosiasikan kenaikan bayaran.
Namun, laporan terbaru dari Bank Sentral Atlanta menunjukkan bahwa kini pekerja yang bertahan justru mendapat kenaikan gaji hampir sama dengan mereka yang berpindah kerja.
Tren job hugging, yang mengacu pada kondisi pekerja memilih bertahan di tempat kerja mereka meskipun tidak bahagia atau setia pada perusahaan, kini berbalik arah. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang berani resign karena yakin mudah mendapatkan peluang baru, tetapi sekarang tren ini berubah menjadi lawan.
Fenomena ini muncul karena banyak perusahaan membuka lowongan tanpa benar-benar berniat merekrut. Posisi yang diiklankan sering kali hanya formalitas, sementara di sisi lain, beberapa perusahaan justru menggantikan tenaga manusia dengan teknologi.
Pekerja merasa lebih aman untuk bertahan daripada harus menghadapi risiko penolakan saat mencari pekerjaan baru. "Astaga, saya bahkan tidak bisa menyebutnya kompetitif lagi saat ini. Saya sudah mengirimkan begitu banyak lamaran, tetapi hanya mendapat penolakan langsung atau tidak ada kabar sama sekali," curhat seorang pencari kerja.
Situasi ini menjadi semakin sulit bagi para lulusan baru. Mereka tidak memenuhi syarat untuk posisi senior yang kini menuntut pengalaman tinggi, namun juga kesulitan menemukan posisi pemula karena sedikit pekerja yang bersedia resign.
Fenomena job hugging didorong oleh rasa takut dan kelengahan. "Kenyamanan perlahan berubah menjadi kelengahan," ujarnya Mary Cavanaugh, Wakil Presiden Senior Manajemen Karier di Keystone Partners. "Salah satu dampak negatif dari job hugging adalah ketika seseorang bertahan terlalu lama karena rasa takut dan sikap pasif. Itu tidak membantu perkembangan karier maupun organisasi."
Faktor ekonomi juga berperan besar dalam fenomena ini. Setelah sistem pensiun di banyak perusahaan dihapus, cara paling umum untuk menaikkan gaji biasanya adalah pindah kerja dan menegosiasikan kenaikan bayaran.
Namun, laporan terbaru dari Bank Sentral Atlanta menunjukkan bahwa kini pekerja yang bertahan justru mendapat kenaikan gaji hampir sama dengan mereka yang berpindah kerja.