Pemuda Soeharto, yang kemudian menjadi Presiden ke-2 Republik Indonesia (RI), menurut Fadli Zon, belum terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Menurut Menteri Kebudayaan (Menbud) RI tersebut, serangan umum 1 Maret 1949 merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia dan tidak ada bukti yang menunjukkan Soeharto terlibat dalam kasus pelanggaran HAM.
Fadli Zon juga mengatakan bahwa jika ada fakta tentang pelanggaran HAM oleh Soeharto, maka ia harus tahu dan menyampaikannya. Namun, sampai saat ini, belum ada bukti yang cukup untuk membuktikan keterlibatan Soeharto dalam pelanggaran HAM.
Menurut Fadli, penolakan masyarakat atas usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional adalah masukan dan harus diwaspadai. Namun, menurut dia, Soeharto memenuhi syarat sebagai pahlawan nasional karena telah melalui kajian Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, serta elemen masyarakat.
Fadli juga mengingatkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan salah satu alasan Soeharto dipertimbangkan menjadi pahlawan nasional. Ia menilai bahwa serangan itu merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia dan tidak ada bukti yang menunjukkan Soeharto terlibat dalam kasus pelanggaran HAM.
Sementara itu, sejumlah warganet (netizen) telah menolak Soeharto menjadi pahlawan nasional. Mereka mengingatkan tentang aksi kekerasan yang terjadi era Soeharto, seperti Petrus 1984, penculikan aktivitas 1997, Tanjung Priok 1984, dan Kudatuli 1996.
Namun, menurut Fadli, setelah serangan umum 1 Maret 1949, Belanda tidak lagi menganggap RI sebagai negara. Ia juga menyinggung peran Soeharto saat Indonesia masih terlibat perang dalam negeri maupun dengan pihak asing.
Dalam kesimpulan, Fadli Zon menegaskan bahwa Soeharto memenuhi syarat sebagai pahlawan nasional karena telah melalui kajian Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, serta elemen masyarakat. Namun, ia juga mengingatkan tentang perluasan informasi yang lebih luas dan akurat untuk menentukan sebenarnya keterlibatan Soeharto dalam pelanggaran HAM.
Fadli Zon juga mengatakan bahwa jika ada fakta tentang pelanggaran HAM oleh Soeharto, maka ia harus tahu dan menyampaikannya. Namun, sampai saat ini, belum ada bukti yang cukup untuk membuktikan keterlibatan Soeharto dalam pelanggaran HAM.
Menurut Fadli, penolakan masyarakat atas usulan Soeharto menjadi pahlawan nasional adalah masukan dan harus diwaspadai. Namun, menurut dia, Soeharto memenuhi syarat sebagai pahlawan nasional karena telah melalui kajian Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, serta elemen masyarakat.
Fadli juga mengingatkan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan salah satu alasan Soeharto dipertimbangkan menjadi pahlawan nasional. Ia menilai bahwa serangan itu merupakan peristiwa penting dalam sejarah Indonesia dan tidak ada bukti yang menunjukkan Soeharto terlibat dalam kasus pelanggaran HAM.
Sementara itu, sejumlah warganet (netizen) telah menolak Soeharto menjadi pahlawan nasional. Mereka mengingatkan tentang aksi kekerasan yang terjadi era Soeharto, seperti Petrus 1984, penculikan aktivitas 1997, Tanjung Priok 1984, dan Kudatuli 1996.
Namun, menurut Fadli, setelah serangan umum 1 Maret 1949, Belanda tidak lagi menganggap RI sebagai negara. Ia juga menyinggung peran Soeharto saat Indonesia masih terlibat perang dalam negeri maupun dengan pihak asing.
Dalam kesimpulan, Fadli Zon menegaskan bahwa Soeharto memenuhi syarat sebagai pahlawan nasional karena telah melalui kajian Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, serta elemen masyarakat. Namun, ia juga mengingatkan tentang perluasan informasi yang lebih luas dan akurat untuk menentukan sebenarnya keterlibatan Soeharto dalam pelanggaran HAM.