Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus menghapus aturan yang memperbolehkan penagih utang melakukan penagihan lewat pihak ketiga. Hal ini diusulkan oleh anggota Komisi III DPR RI, Abdullah. Pasal 44 Ayat (1) dan (2) pada Peraturan OJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan diperlukan untuk dihapus.
Abdullah mengatakan bahwa praktik penagihan utang oleh pihak ketiga, yang dikenal sebagai "matel", marak kembali. Penagih utang ini melakukan tindakan yang mengarah pada perbuatan yang melanggar hukum, seperti pengancaman dan intimidasi psikologis kepada para peminjam atau nasabah.
Jasa pembiayaan keuangan atau fintech lending dan perusahaan leasing yang memberikan jasa kredit kendaraan bermotor adalah klien utama para penagih utang. Mereka biasanya melakukan penagihan tunggakan kredit kendaraan bermotor dengan cara merampas kendaraan debitur atau menagih secara langsung tanpa disertai surat resmi dan etika penagihan utang/tunggakan yang ditetapkan.
Banyak kasus di lapangan yang menunjukkan bahwa penagih utang tidak memiliki sertifikasi atau otorisasi dari perusahaan pembiayaan resmi. Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute (TII), Putu Rusta Adijaya, menilai bahwa industri fintech lending dan leasing sudah mengalami "ketergantung" pada jasa penagih utang.
Namun, hal ini tidak berarti industri fintech lending cuma mengandalkan penagih utang atau "tidak bisa tanpa" penagih utang dalam melakukan penagihan. Penelitian Rusta menunjukkan bahwa skema penagihan utang dilakukan karena banyak berita menyebutkan masyarakat terganggu para DC.
Jika proses penagihan utang oleh pihak ketiga tidak dihapus, maka ketentuan etika penagihan tetap tertera jelas dalam POJK Nomor 22/2023. Peneliti tersebut menilai bahwa penegakan hukum masih belum baik dan diperlukan pengawasan pelanggaran dan implementasi sistem penagihan baru untuk membuat situasi lebih baik.
Abdullah mengatakan bahwa praktik penagihan utang oleh pihak ketiga, yang dikenal sebagai "matel", marak kembali. Penagih utang ini melakukan tindakan yang mengarah pada perbuatan yang melanggar hukum, seperti pengancaman dan intimidasi psikologis kepada para peminjam atau nasabah.
Jasa pembiayaan keuangan atau fintech lending dan perusahaan leasing yang memberikan jasa kredit kendaraan bermotor adalah klien utama para penagih utang. Mereka biasanya melakukan penagihan tunggakan kredit kendaraan bermotor dengan cara merampas kendaraan debitur atau menagih secara langsung tanpa disertai surat resmi dan etika penagihan utang/tunggakan yang ditetapkan.
Banyak kasus di lapangan yang menunjukkan bahwa penagih utang tidak memiliki sertifikasi atau otorisasi dari perusahaan pembiayaan resmi. Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute (TII), Putu Rusta Adijaya, menilai bahwa industri fintech lending dan leasing sudah mengalami "ketergantung" pada jasa penagih utang.
Namun, hal ini tidak berarti industri fintech lending cuma mengandalkan penagih utang atau "tidak bisa tanpa" penagih utang dalam melakukan penagihan. Penelitian Rusta menunjukkan bahwa skema penagihan utang dilakukan karena banyak berita menyebutkan masyarakat terganggu para DC.
Jika proses penagihan utang oleh pihak ketiga tidak dihapus, maka ketentuan etika penagihan tetap tertera jelas dalam POJK Nomor 22/2023. Peneliti tersebut menilai bahwa penegakan hukum masih belum baik dan diperlukan pengawasan pelanggaran dan implementasi sistem penagihan baru untuk membuat situasi lebih baik.