Korupsi di Indonesia, terutama korupsi manajemen sumber daya manusia (SDM) aparatur sipil negara (ASN), masih menjadi masalah yang sangat serius. Menurut Arif Waluyo Widiarto, Direktur Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK, kerawanan gratifikasi bukan hanya temuan, melainkan indikator dini yang menunjukkan kondisi kesehatan integritas birokrasi di Indonesia.
"Titik-titik rawan gratifikasi mulai dari rekrutmen, promosi jabatan, mutasi/rotasi pegawai, hingga pengelolaan kesejahteraan. KPK hadir untuk memperkuat sistem pencegahan," kata Arif dalam keterangannya.
KPK menekankan pentingnya memahami peta kerawanan gratifikasi dalam manajemen SDM ASN agar dapat mencegah korupsi dan meningkatkan integritas birokrasi. Menurut Arif, masalah seperti belum meratanya sistem merit pada rekrutmen dan promosi, belum meratanya kompetensi ASN, hingga belum optimalnya budaya kerja, berdampak pada rendahnya kinerja ASN sehingga berpotensi korupsi.
KPK juga memetakan delapan fokus manajemen ASN yang berpotensi menimbulkan praktik gratifikasi dan suap, yaitu proses rekrutmen, mutasi dan promosi, penilaian kinerja, diklat, pengelolaan data, perencanaan pegawai, pengembangan karier, hingga penanganan disiplin.
"Integritas tidak bisa hanya mengandalkan individu, namun perlu peran pemimpin aktif, sistem transparan, dan SDM terlindungi. Tiga simpul ini harus bekerja serempak," kata Sari Wardhani, Konsultan Pemetaan Kerawanan Gratifikasi KPK.
Sementara itu, Guru Besar UGM, Agus Pramusinto, menekankan pencegahan korupsi pada ASN tidak bisa sekadar dengan regulasi. Menurutnya, reformasi manajemen ASN harus fokus pada penanaman nilai integrasi, meskipun penerapannya dinilai belum berhasil di Indonesia.
"Kalau di Indonesia, barang tertinggal sebentar saja sering kali langsung lenyap karena bagi yang melihat itu dianggap rezeki," kata Agus.
KPK berharap, peta kerawanan gratifikasi dapat menjadi panduan strategis seluruh instansi untuk menjadikan ASN ujung tombak birokrasi yang bersih, profesional, dan efisien.
"Titik-titik rawan gratifikasi mulai dari rekrutmen, promosi jabatan, mutasi/rotasi pegawai, hingga pengelolaan kesejahteraan. KPK hadir untuk memperkuat sistem pencegahan," kata Arif dalam keterangannya.
KPK menekankan pentingnya memahami peta kerawanan gratifikasi dalam manajemen SDM ASN agar dapat mencegah korupsi dan meningkatkan integritas birokrasi. Menurut Arif, masalah seperti belum meratanya sistem merit pada rekrutmen dan promosi, belum meratanya kompetensi ASN, hingga belum optimalnya budaya kerja, berdampak pada rendahnya kinerja ASN sehingga berpotensi korupsi.
KPK juga memetakan delapan fokus manajemen ASN yang berpotensi menimbulkan praktik gratifikasi dan suap, yaitu proses rekrutmen, mutasi dan promosi, penilaian kinerja, diklat, pengelolaan data, perencanaan pegawai, pengembangan karier, hingga penanganan disiplin.
"Integritas tidak bisa hanya mengandalkan individu, namun perlu peran pemimpin aktif, sistem transparan, dan SDM terlindungi. Tiga simpul ini harus bekerja serempak," kata Sari Wardhani, Konsultan Pemetaan Kerawanan Gratifikasi KPK.
Sementara itu, Guru Besar UGM, Agus Pramusinto, menekankan pencegahan korupsi pada ASN tidak bisa sekadar dengan regulasi. Menurutnya, reformasi manajemen ASN harus fokus pada penanaman nilai integrasi, meskipun penerapannya dinilai belum berhasil di Indonesia.
"Kalau di Indonesia, barang tertinggal sebentar saja sering kali langsung lenyap karena bagi yang melihat itu dianggap rezeki," kata Agus.
KPK berharap, peta kerawanan gratifikasi dapat menjadi panduan strategis seluruh instansi untuk menjadikan ASN ujung tombak birokrasi yang bersih, profesional, dan efisien.