Presiden Joko Widodo yang kemudian digantikan oleh Prabowo Subianto kembali memanfaatkan APBN (Anggaran Pendapatan Negara Bulan) untuk membayar utang kereta api yang tidak dimiliki. Kembalinya praktik ini menimbulkan pertanyaan mengapa pemerintah tetap menggunakan sistem yang ada sejak lama, meskipun dikenal sebagai "pemakaman" bagi negara.
Menurut sumber di Kementerian Perhubungan, hingga bulan Desember 2024, utang kereta api mencapai Rp 5,7 triliun. Ini merupakan jumlah yang sangat besar dan menimbulkan kekhawatiran mengenai efisiensi pengelolaan APBN.
Sumber juga menyebutkan bahwa Pemerintah telah menerbitkan beberapa surat utang untuk membayar utang kereta api tersebut, tetapi tidak ada tindakan yang diambil untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan APBN.
Kata orang, "banyak hal yang sama saja tetapi berbeda hasil".
Menurut sumber di Kementerian Perhubungan, hingga bulan Desember 2024, utang kereta api mencapai Rp 5,7 triliun. Ini merupakan jumlah yang sangat besar dan menimbulkan kekhawatiran mengenai efisiensi pengelolaan APBN.
Sumber juga menyebutkan bahwa Pemerintah telah menerbitkan beberapa surat utang untuk membayar utang kereta api tersebut, tetapi tidak ada tindakan yang diambil untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan APBN.
Kata orang, "banyak hal yang sama saja tetapi berbeda hasil".