pixeltembok
New member
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, telah ada 114 aduan terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di beberapa lokasi proyek strategis nasional (PSN).
Menghadiri sidang lanjutan perkara nomor: 112/PUU-XXIII/2025 tentang pengujian materiil Undang-undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK), Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Saurlin P Siagian menjelaskan bahwa pola permasalahan yang muncul dalam kasus-kasus PSN seringkali sama, yakni penggusuran paksa, kompensasi tidak layak, kriminalisasi warga, dan degradasi lingkungan hidup.
Dalam beberapa contoh kasus, seperti Wadas, Rempang, Mandalika, pembukaan lahan food estate di Papua Selatan, dan Kawasan Industri Morowali, Saurlin menyatakan bahwa keputusan diambil secara top-down, minim konsultasi bermakna, dan pengamanan berlebihan yang memicu konflik.
Dari total 114 aduan, Komnas HAM juga menemukan beberapa kasus lainnya yang mengandung dugaan pelanggaran HAM. Hal ini mencakup pengabaian prosedur konsultasi, instrumen AMDAL yang hanya berfungsi sebagai dokumen administratif, peranan aparat keamanan yang berlebihan untuk menekan perbedaan pendapat warga, dan dampak sosial ekonomi yang meningkatkan kerentanan warga.
Komnas HAM kemudian menyampaikan sejumlah kesimpulan dari kajian-kajian mereka dan temuan lapangan. Pertama, norma PSN dalam Undang-undang Cipta Kerja mengandung kekaburan norma yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kepastian hukum.
Kedua, pelaksanaan PSN telah menimbulkan pelanggaran nyata terhadap konstitusional, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas rasa aman, dan hak atas properti. Ketiga, tata kelola PSN yang bersifat top-down menghasilkan proyek tidak ramah HAM dan cenderung meniadakan partisipasi publik yang bermakna.
Keempat, terdapat kesenjangan nyata antara tujuan normatif PSN dengan realitas di lapangan yang sering menghasilkan konflik sosial dan kriminalisasi terhadap warga. Kelima, PSN telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang serius dan instrumen lingkungan tidak berjalan dengan efektif.
Keenam, pelibatan aparat keamanan dalam melaksanakan PSN yang berlebihan mengancam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM secara utuh. Poin terakhir adalah hilangnya akses masyarakat adat atas tanah dan budaya akibat PSN yang mengancam identitas budaya juga keberlanjutan hak masyarakat adat.
Dalam pemaparannya, Saurlin membacakan enam rekomendasi dari Komnas HAM. Pertama, MK harus menegaskan bahwa setiap norma dalam UU Ciptaker, khususnya yang menyangkut PSN, harus tunduk pada prinsip negara hukum sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi.
Kemudian, meninjau ulang model pembangunan dalam bentuk PSN karena sangat eksklusif menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan kewenangan, dan pelanggaran HAM yang terus berulang.
MK juga diminta menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh dijadikan justifikasi bagi perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.
Menghadiri sidang lanjutan perkara nomor: 112/PUU-XXIII/2025 tentang pengujian materiil Undang-undang Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK), Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Saurlin P Siagian menjelaskan bahwa pola permasalahan yang muncul dalam kasus-kasus PSN seringkali sama, yakni penggusuran paksa, kompensasi tidak layak, kriminalisasi warga, dan degradasi lingkungan hidup.
Dalam beberapa contoh kasus, seperti Wadas, Rempang, Mandalika, pembukaan lahan food estate di Papua Selatan, dan Kawasan Industri Morowali, Saurlin menyatakan bahwa keputusan diambil secara top-down, minim konsultasi bermakna, dan pengamanan berlebihan yang memicu konflik.
Dari total 114 aduan, Komnas HAM juga menemukan beberapa kasus lainnya yang mengandung dugaan pelanggaran HAM. Hal ini mencakup pengabaian prosedur konsultasi, instrumen AMDAL yang hanya berfungsi sebagai dokumen administratif, peranan aparat keamanan yang berlebihan untuk menekan perbedaan pendapat warga, dan dampak sosial ekonomi yang meningkatkan kerentanan warga.
Komnas HAM kemudian menyampaikan sejumlah kesimpulan dari kajian-kajian mereka dan temuan lapangan. Pertama, norma PSN dalam Undang-undang Cipta Kerja mengandung kekaburan norma yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kepastian hukum.
Kedua, pelaksanaan PSN telah menimbulkan pelanggaran nyata terhadap konstitusional, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas rasa aman, dan hak atas properti. Ketiga, tata kelola PSN yang bersifat top-down menghasilkan proyek tidak ramah HAM dan cenderung meniadakan partisipasi publik yang bermakna.
Keempat, terdapat kesenjangan nyata antara tujuan normatif PSN dengan realitas di lapangan yang sering menghasilkan konflik sosial dan kriminalisasi terhadap warga. Kelima, PSN telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang serius dan instrumen lingkungan tidak berjalan dengan efektif.
Keenam, pelibatan aparat keamanan dalam melaksanakan PSN yang berlebihan mengancam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM secara utuh. Poin terakhir adalah hilangnya akses masyarakat adat atas tanah dan budaya akibat PSN yang mengancam identitas budaya juga keberlanjutan hak masyarakat adat.
Dalam pemaparannya, Saurlin membacakan enam rekomendasi dari Komnas HAM. Pertama, MK harus menegaskan bahwa setiap norma dalam UU Ciptaker, khususnya yang menyangkut PSN, harus tunduk pada prinsip negara hukum sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi.
Kemudian, meninjau ulang model pembangunan dalam bentuk PSN karena sangat eksklusif menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan kewenangan, dan pelanggaran HAM yang terus berulang.
MK juga diminta menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh dijadikan justifikasi bagi perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.