Pemerintah Indonesia saat ini mengusung tiga pilar yang mendasari kebijakan moneter baru, yaitu penyesuaian nilai mata uang rupiah atau redenominasi. Pilihan ini diiringi oleh sanering era Presiden Sukarno yang dilakukan lewat Penetapan Presiden Nomor 27 Tahun 1965. Namun, apa itu perbedaan antara redenominasi dan sanering? Apakah pemerintah benar-benar membutuhkan redenominasi rupiah di kondisi ekonomi saat ini?
Redenominasi adalah proses penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya. Dengan demikian, redenominasi tidak akan menurunkan daya beli rupiah. Misalnya, jika Rp 1.000 ditransformasikan menjadi Rp 1, maka masyarakat masih dapat membeli barang dengan harga sebesar Rp 1000. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan, "Redenominasi tidak membuat daya beli rupiah menurun."
Namun, sanering era Soekarno adalah proses pemotongan nilai mata uang yang sekaligus menurunkan daya beli dari rupiah. Nilai dari mata uang turut mengalami penurunan. Misalnya, jika uang Rp 1.000 dipecah menjadi Rp 1, harga barang tidak berubah, tetapi kepadatan mata uang yang dimiliki masyarakat menurun secara signifikan.
Perbedaan lainnya adalah tujuan dari kedua proses tersebut. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam transaksi serta efektif dalam pencatatan pembukuan keuangan. Sedangkan, sanering di era 1965 dilakukan untuk mengurangi peredaran rupiah dan mengatasi masalah hiperinflasi.
Namun, Celios menilai redenominasi belum diperlukan di kondisi ekonomi saat ini. Alasannya, biaya tinggi yang harus ditanggung oleh negara dan swasta membuat proses tersebut menjadi tidak terjangkau bagi masyarakat. Selain itu, redenominasi juga bisa jadi masalah ketika pemahaman masyarakat tak seragam. Misalnya, jika suatu barang seharusnya disederhanakan harganya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, tetapi pedagang tetap menjual barangnya seharga Rp 1.000 karena tidak paham, maka secara efektif menaikkan harga barang seribu kali lipat.
Dalam kesimpulan, redenominasi dan sanering memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal tujuan dan dampak terhadap masyarakat. Meskipun redenominasi dianggap sebagai pilihan yang lebih baik daripada sanering dalam hal efisiensi dan daya beli rupiah, namun masih banyak pertanyaan yang tetap berlanjut di bagian penanganan biaya dan pemahaman masyarakat.
Redenominasi adalah proses penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya. Dengan demikian, redenominasi tidak akan menurunkan daya beli rupiah. Misalnya, jika Rp 1.000 ditransformasikan menjadi Rp 1, maka masyarakat masih dapat membeli barang dengan harga sebesar Rp 1000. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan, "Redenominasi tidak membuat daya beli rupiah menurun."
Namun, sanering era Soekarno adalah proses pemotongan nilai mata uang yang sekaligus menurunkan daya beli dari rupiah. Nilai dari mata uang turut mengalami penurunan. Misalnya, jika uang Rp 1.000 dipecah menjadi Rp 1, harga barang tidak berubah, tetapi kepadatan mata uang yang dimiliki masyarakat menurun secara signifikan.
Perbedaan lainnya adalah tujuan dari kedua proses tersebut. Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam transaksi serta efektif dalam pencatatan pembukuan keuangan. Sedangkan, sanering di era 1965 dilakukan untuk mengurangi peredaran rupiah dan mengatasi masalah hiperinflasi.
Namun, Celios menilai redenominasi belum diperlukan di kondisi ekonomi saat ini. Alasannya, biaya tinggi yang harus ditanggung oleh negara dan swasta membuat proses tersebut menjadi tidak terjangkau bagi masyarakat. Selain itu, redenominasi juga bisa jadi masalah ketika pemahaman masyarakat tak seragam. Misalnya, jika suatu barang seharusnya disederhanakan harganya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, tetapi pedagang tetap menjual barangnya seharga Rp 1.000 karena tidak paham, maka secara efektif menaikkan harga barang seribu kali lipat.
Dalam kesimpulan, redenominasi dan sanering memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal tujuan dan dampak terhadap masyarakat. Meskipun redenominasi dianggap sebagai pilihan yang lebih baik daripada sanering dalam hal efisiensi dan daya beli rupiah, namun masih banyak pertanyaan yang tetap berlanjut di bagian penanganan biaya dan pemahaman masyarakat.