Pemerintah Indonesia perlu memperkuat payung hukumnya agar dapat menghadapi ancaman kejahatan siber yang semakin kompleks dan terorganisir. Menurut Bambang Soesatyo, Ketua DPR RI dan MPR RI ke-15, ratifikasi Konvensi PBB tentang Kejahatan Siber dan pengesahan RUU KKS (Undang-Undang Republik Indonesia tentang Keamanan dan Ketahanan Siber) adalah langkah strategis untuk memperkuat kedaulatan digital Indonesia.
Bamsoet menekankan bahwa kejahatan siber bukan hanya mengancam individu, tetapi juga infrastruktur penting negara seperti transportasi, energi, kesehatan, dan keuangan. Serangan siber dapat melumpuhkan negara tanpa satu pun peluru ditembakkan, sehingga penting untuk memperkuat perlindungan hukum dan koordinasi antar instansi berjalan efektif.
Menurut Bamsoet, sejumlah negara telah lebih dulu memiliki regulasi siber yang kuat, seperti AS dengan Cybersecurity and Infrastructure Security Agency Act, Uni Eropa dengan NIS2 Directive, dan Singapura melalui Cybersecurity Act sejak 2018. Indonesia juga perlu memperkuat posisinya di kancah global dan menjaga kedaulatan digital nasional.
Bamsoet mengutip prediksi Cybersecurity Ventures bahwa kerugian global akibat kejahatan siber bisa mencapai 10,5 triliun dolar AS pada 2025. Hal ini menekankan pentingnya Indonesia memperkuat perlindungan hukum dan koordinasi antar instansi berjalan efektif untuk menghadapi ancaman kejahatan siber.
"Indonesia tidak boleh menunggu sampai krisis terjadi. Serangan siber bisa melumpuhkan negara tanpa satu pun peluru ditembakkan. Ini bukan lagi soal teknis, tapi soal pertahanan dan kedaulatan," ujar Bamsoet.
Bamsoet menekankan bahwa kejahatan siber bukan hanya mengancam individu, tetapi juga infrastruktur penting negara seperti transportasi, energi, kesehatan, dan keuangan. Serangan siber dapat melumpuhkan negara tanpa satu pun peluru ditembakkan, sehingga penting untuk memperkuat perlindungan hukum dan koordinasi antar instansi berjalan efektif.
Menurut Bamsoet, sejumlah negara telah lebih dulu memiliki regulasi siber yang kuat, seperti AS dengan Cybersecurity and Infrastructure Security Agency Act, Uni Eropa dengan NIS2 Directive, dan Singapura melalui Cybersecurity Act sejak 2018. Indonesia juga perlu memperkuat posisinya di kancah global dan menjaga kedaulatan digital nasional.
Bamsoet mengutip prediksi Cybersecurity Ventures bahwa kerugian global akibat kejahatan siber bisa mencapai 10,5 triliun dolar AS pada 2025. Hal ini menekankan pentingnya Indonesia memperkuat perlindungan hukum dan koordinasi antar instansi berjalan efektif untuk menghadapi ancaman kejahatan siber.
"Indonesia tidak boleh menunggu sampai krisis terjadi. Serangan siber bisa melumpuhkan negara tanpa satu pun peluru ditembakkan. Ini bukan lagi soal teknis, tapi soal pertahanan dan kedaulatan," ujar Bamsoet.