Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa surat perintah penangkapan terhadap tersangka korupsi pengadaan e-KTP, Paulus Tannos, masih sah meskipun tidak mencantumkan identitas kewarganegaraan Paulus yang lain, yakni Guinea-Bissau. Penghormatan ini mengacu pada asas kewarganegaraan tunggal yang berlaku di Indonesia.
Dalam sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, tim kuasa hukum Paulus menyatakan bahwa surat perintah penangkapan tidak sah karena tidak mencantumkan identitas kebangsaan Paulus yang lain. Namun, KPK menolak pendapat tersebut dan mengatakan bahwa tidak dicantumkannya kewarganegaraan Guinea-Bissau dalam objek praperadilan adalah bentuk administrasi, bukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.
KPK juga menunjukkan bahwa Paulus sempat mengajukan Surat Keterangan Kehilangan Kewarganegaraan RI atas kemauan sendiri bagi orang yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Namun, permohonan tersebut tidak dapat terpenuhi karena masih terdapat sejumlah kekurangan. Sampai saat ini, Paulus disebutnya masih berstatus sebagai warga negara Indonesia (WNI).
Dalam persidangan, Anggota Tim Biro Hukum KPK, Martin Tobing, menegaskan bahwa dalil Surat Perintah Penangkapan Nomor Sprin.Kap/08/DIK.01.02.01/11/2024 tidak sah karena tidak mencantumkan identitas kebangsaan Paulus yang lain sebagai upaya mengaburkan fakta.
Dalam sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, tim kuasa hukum Paulus menyatakan bahwa surat perintah penangkapan tidak sah karena tidak mencantumkan identitas kebangsaan Paulus yang lain. Namun, KPK menolak pendapat tersebut dan mengatakan bahwa tidak dicantumkannya kewarganegaraan Guinea-Bissau dalam objek praperadilan adalah bentuk administrasi, bukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.
KPK juga menunjukkan bahwa Paulus sempat mengajukan Surat Keterangan Kehilangan Kewarganegaraan RI atas kemauan sendiri bagi orang yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Namun, permohonan tersebut tidak dapat terpenuhi karena masih terdapat sejumlah kekurangan. Sampai saat ini, Paulus disebutnya masih berstatus sebagai warga negara Indonesia (WNI).
Dalam persidangan, Anggota Tim Biro Hukum KPK, Martin Tobing, menegaskan bahwa dalil Surat Perintah Penangkapan Nomor Sprin.Kap/08/DIK.01.02.01/11/2024 tidak sah karena tidak mencantumkan identitas kebangsaan Paulus yang lain sebagai upaya mengaburkan fakta.