Korban Korupsi, Warga Harus Mendapat Ganti Rugi, UU Tipikor Belum Menyebutkan Aturan Soal Ini.
Di tengah perdebatan tentang ganti rugi korban korupsi, pengurus Caksana Institute dan Transparency International Indonesia (TII) menyatakan, pihaknya telah mengorganisir para aktivis gerakan sosial antikorupsi untuk menyebarluaskan isu ini.
Direktur Caksana Institute, Wasingatu Zakiyah, mengatakan UU Tipikor saat ini belum mencantumkan aturan soal warga sebagai korban korupsi. Atau lebih tepatnya adalah, UU Tipikor hanya mengatur kerugian negara tanpa ada ganti rugi langsung ke korban rakyat Indonesia.
Zakiyah menyatakan bahwa "korban sesungguhnya adalah warga, tapi UU Tipikor tidak mengidentifikasi warga sebagai korban yang masuk dalam mekanisme kerugian". Sehingga, untuk mengorganisir korban itu penting agar isu korupsi bukan hanya menjadi isu aktivis anti-korupsi tetapi menjadi isu bersama.
"Padahal bencana banjir di beberapa daerah itu bisa jadi contoh perizinan serampangan yang mengakibatkan korban. Izin untuk buka lahan, penambangan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM berpotensi menyebabkan dampak yang merugikan masyarakat."
Zakiyah menjelaskan bahwa warga bisa melihat dampaknya sangat besar.
Caksana dan TII juga melatih perwakilan masyarakat untuk menghitung semua aspek kerugian dalam rupiah. Untuk satu kasus korupsi di sebuah wilayah, masyarakat secara tidak langsung menanggung kerugian yang nilainya bisa mencapai miliaran rupiah dari sisi ekonomi hingga sosial-psikologi.
Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menyatakan korupsi adalah kejahatan dengan korban yang sangat luas dan merusak. Oleh karena itu perlu ada pengorganisasian korban agar bisa mengajukan gugatan.
"Korban membutuhkan pengorganisasian. Sangat tidak mungkin korban korupsi itu melapor sendiri, karena melawan pelaku korupsi yang biasanya punya kuasa, punya uang, punya koneksi," kata Zaenur.
Menurutnya, korban korupsi bisa melaporkan kerugian yang mereka alami melalui tiga cara yaitu gugatan perdata, gugatan gabungan (perdata dan pidana), serta melalui restitusi (ganti kerugian materiil dan immateriil).
Di tengah perdebatan tentang ganti rugi korban korupsi, pengurus Caksana Institute dan Transparency International Indonesia (TII) menyatakan, pihaknya telah mengorganisir para aktivis gerakan sosial antikorupsi untuk menyebarluaskan isu ini.
Direktur Caksana Institute, Wasingatu Zakiyah, mengatakan UU Tipikor saat ini belum mencantumkan aturan soal warga sebagai korban korupsi. Atau lebih tepatnya adalah, UU Tipikor hanya mengatur kerugian negara tanpa ada ganti rugi langsung ke korban rakyat Indonesia.
Zakiyah menyatakan bahwa "korban sesungguhnya adalah warga, tapi UU Tipikor tidak mengidentifikasi warga sebagai korban yang masuk dalam mekanisme kerugian". Sehingga, untuk mengorganisir korban itu penting agar isu korupsi bukan hanya menjadi isu aktivis anti-korupsi tetapi menjadi isu bersama.
"Padahal bencana banjir di beberapa daerah itu bisa jadi contoh perizinan serampangan yang mengakibatkan korban. Izin untuk buka lahan, penambangan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM berpotensi menyebabkan dampak yang merugikan masyarakat."
Zakiyah menjelaskan bahwa warga bisa melihat dampaknya sangat besar.
Caksana dan TII juga melatih perwakilan masyarakat untuk menghitung semua aspek kerugian dalam rupiah. Untuk satu kasus korupsi di sebuah wilayah, masyarakat secara tidak langsung menanggung kerugian yang nilainya bisa mencapai miliaran rupiah dari sisi ekonomi hingga sosial-psikologi.
Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menyatakan korupsi adalah kejahatan dengan korban yang sangat luas dan merusak. Oleh karena itu perlu ada pengorganisasian korban agar bisa mengajukan gugatan.
"Korban membutuhkan pengorganisasian. Sangat tidak mungkin korban korupsi itu melapor sendiri, karena melawan pelaku korupsi yang biasanya punya kuasa, punya uang, punya koneksi," kata Zaenur.
Menurutnya, korban korupsi bisa melaporkan kerugian yang mereka alami melalui tiga cara yaitu gugatan perdata, gugatan gabungan (perdata dan pidana), serta melalui restitusi (ganti kerugian materiil dan immateriil).