Puluhan ribu orang, terutama calon warga kota Surakarta, menggelitiki anggota DPR RI yang berjoget di sidang Tahunan MPR/DPR tahun lalu. Sehingga, lima orang itu nonaktif dalam sidang. Pemimpin koordinator orkestra Universitas Pertahanan, Letkol Suwarko, menyatakan bahwa kegiatan joget-joget di sidang Tahunan MPR/DPR itu karena terhibur.
Hal itu didukung oleh ketua panel advokasi Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MPR) RI, Mangihut Sinaga. Ia juga menginginkan penjelasan dari anggota DPR yang berjoget tentang apa yang membuat mereka bersemangat dan berjoget.
"Kami memandang aksi joget-joget di sidang Tahunan MPR/DPR tahun lalu murni karena terhibur, Bapak," ucap Suwarko saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang kasus lima anggota DPR RI nonaktif.
Sementara itu, Pakar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Adrianus Eliasta Sembiring, menilai penyebaran informasi bohong atau hoaks di dunia maya dapat menimbulkan konflik sosial serta kesalahpahaman publik terhadap suatu lembaga negara.
"Kehadiran video-video yang viral dalam sebulan sebelum kejadian itu berhasil menciptakan sense of injustice secara kuat di kalangan masyarakat. Kondisi ini menjadi baseline atau situasi dasar," ucap Adrianus.
Ia juga menilai bahwa ajakan-ajakan seperti 'kumpul di sini', 'bakar Monas', atau 'serang Mabes Polri' itulah yang disebut sebagai trigger atau faktor pencetus.
Hal itu didukung oleh ketua panel advokasi Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat (MPR) RI, Mangihut Sinaga. Ia juga menginginkan penjelasan dari anggota DPR yang berjoget tentang apa yang membuat mereka bersemangat dan berjoget.
"Kami memandang aksi joget-joget di sidang Tahunan MPR/DPR tahun lalu murni karena terhibur, Bapak," ucap Suwarko saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang kasus lima anggota DPR RI nonaktif.
Sementara itu, Pakar Kriminologi Universitas Indonesia (UI), Adrianus Eliasta Sembiring, menilai penyebaran informasi bohong atau hoaks di dunia maya dapat menimbulkan konflik sosial serta kesalahpahaman publik terhadap suatu lembaga negara.
"Kehadiran video-video yang viral dalam sebulan sebelum kejadian itu berhasil menciptakan sense of injustice secara kuat di kalangan masyarakat. Kondisi ini menjadi baseline atau situasi dasar," ucap Adrianus.
Ia juga menilai bahwa ajakan-ajakan seperti 'kumpul di sini', 'bakar Monas', atau 'serang Mabes Polri' itulah yang disebut sebagai trigger atau faktor pencetus.