Waskita Karya, salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia, menghadapi beban finansial yang sangat besar dalam pembangunan jalan tol. Menurut Direktur Utama Muhammad Hanugroho, hanya sebagian kecil dari total nilai 18 ruas tol yang mendapat dukungan anggaran dari pemerintah.
"Kami menghitung total ruas tol yang pernah dibangun Waskita itu, totalnya nilai proyeknya Rp167 triliun. Pemerintah hanya men-support Rp20 triliun," kata Hanugroho dalam public expose secara daring.
Skema pembangunan yang diterapkan oleh Waskita lebih berbasis komersial, di mana perusahaan harus menanggung biaya pembangunan yang tidak tertutup oleh dukungan pemerintah. Hal ini menyebabkan tingkat cost of fund yang harus ditanggung perusahaan menjadi membengkak.
"Memang ada beban yang memang kami gak bisa sanggup untuk terkait biaya cost fund yang harus kita tanggung," ucapnya.
Di tengah beban tersebut, Waskita berusaha bertahan dengan mengandalkan proyek baru dan komitmen terhadap proses restrukturisasi. Perusahaan membutuhkan nilai kontrak baru (NKB) yang terukur setiap tahunnya untuk bisa bertahan.
"Sebenernya BEP-nya berapa sih supaya kita bisa survive. Paling range Rp14-15 triliun ya. Kita itu dengan angka segitu sudah secure kita. Kita bisa service lah terkait biaya bunga dan lain-lain," tuturnya.
Saat ini, Waskita tidak hanya harus menyelesaikan kewajiban restrukturisasi kepada kreditur, tetapi juga menanggung warisan beban finansial dari proyek-proyek strategis nasional yang ditugaskan kepadanya. Pada kuartal III-2025 Waskita kembali mencatatkan kerugian bersih sebesar Rp 3,6 triliun.
Dalam laporan keuangan terbaru, Waskita menunjukkan perseroan masih dalam fase pemulihan dengan fokus menekan liabilitas dan menyesuaikan proporsi aset. Namun, ekuitas perusahaan menyusut 44,5 persen menjadi Rp 4,4 triliun, terdampak oleh rugi berjalan yang terus berlanjut.
"Kami menghitung total ruas tol yang pernah dibangun Waskita itu, totalnya nilai proyeknya Rp167 triliun. Pemerintah hanya men-support Rp20 triliun," kata Hanugroho dalam public expose secara daring.
Skema pembangunan yang diterapkan oleh Waskita lebih berbasis komersial, di mana perusahaan harus menanggung biaya pembangunan yang tidak tertutup oleh dukungan pemerintah. Hal ini menyebabkan tingkat cost of fund yang harus ditanggung perusahaan menjadi membengkak.
"Memang ada beban yang memang kami gak bisa sanggup untuk terkait biaya cost fund yang harus kita tanggung," ucapnya.
Di tengah beban tersebut, Waskita berusaha bertahan dengan mengandalkan proyek baru dan komitmen terhadap proses restrukturisasi. Perusahaan membutuhkan nilai kontrak baru (NKB) yang terukur setiap tahunnya untuk bisa bertahan.
"Sebenernya BEP-nya berapa sih supaya kita bisa survive. Paling range Rp14-15 triliun ya. Kita itu dengan angka segitu sudah secure kita. Kita bisa service lah terkait biaya bunga dan lain-lain," tuturnya.
Saat ini, Waskita tidak hanya harus menyelesaikan kewajiban restrukturisasi kepada kreditur, tetapi juga menanggung warisan beban finansial dari proyek-proyek strategis nasional yang ditugaskan kepadanya. Pada kuartal III-2025 Waskita kembali mencatatkan kerugian bersih sebesar Rp 3,6 triliun.
Dalam laporan keuangan terbaru, Waskita menunjukkan perseroan masih dalam fase pemulihan dengan fokus menekan liabilitas dan menyesuaikan proporsi aset. Namun, ekuitas perusahaan menyusut 44,5 persen menjadi Rp 4,4 triliun, terdampak oleh rugi berjalan yang terus berlanjut.