Banjir di Tapanuli Tidak Berawal Dari Cuaca Ekstrem, Melainkan Kerusakan Hutan dan Perusahaan
Dalam beberapa waktu terakhir, beberapa wilayah di Sumatra Utara terkena banjir bandang yang menyebabkan kerusakan parah. Gubernur Sumatera Utara meminta agar pernyataan tersebut dipertanggungankan kepada cuaca ekstrem. Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut melarang pernyataan tersebut dan mengatakan bahwa banjir yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem, tetapi juga oleh kerusakan hutan yang masif dan alih fungsi lahan.
Dalam konferensi pers, Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba mengatakan bahwa 2 ribu hektare hutan di Sumut rusak dalam 10 tahun terakhir. "Kerusakan hutan di sana itu disebabkan ya, dipicu ya, oleh beberapa perusahaan. Jadi kita menyangkal pernyataan dari Gubernur Sumatera Utara bahwa banjir tersebut karena cuaca ekstrem," katanya.
Rianda juga mengatakan bahwa perubahan status kawasan hutan membuka pintu bagi perusahaan untuk masuk dan merusak ekosistem di Bukit Batang Toru. "Khususnya wilayah ekosistem Batang Toru atau Harangan Tapanuli ini, seenaknya saja dirubah dari hutan, status hukumnya menjadi non-hutan, menjadi APL. Nah, itu salah satunya adalah SK Nomor 579."
Dalam kesempatan tersebut, Rianda juga mengatakan bahwa Walhi mendapat laporan tentang kondisi di Desa Kwala Serapuh, Kabupaten Langkat, yang menurutnya belum mendapat bantuan dan korban banjir di wilayah itu belum terdata oleh pemerintah. "Itu mereka sudah 5 hari itu tanpa ada pasokan makanan di Langkat. Ini desa pesisir yang juga tenggelam, sudahlah sering menjadi korban banjir rob ya," katanya.
BPBD Sumatera Utara sebelumnya mencatat jumlah korban akibat banjir dan longsor yang melanda beberapa wilayah di provinsi semakin meningkat. "Total warga terdampak saat ini mencapai 360.216 kepala keluarga atau 1.358.348 jiwa," ujar Kabid Penanganan Darurat, Peralatan, dan Logistik BPBD Sumut.
Sementara itu, korban banjir di wilayah tersebut masih meningkat seiring intensitas operasi SAR yang dilakukan.
Dalam beberapa waktu terakhir, beberapa wilayah di Sumatra Utara terkena banjir bandang yang menyebabkan kerusakan parah. Gubernur Sumatera Utara meminta agar pernyataan tersebut dipertanggungankan kepada cuaca ekstrem. Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut melarang pernyataan tersebut dan mengatakan bahwa banjir yang terjadi bukan hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem, tetapi juga oleh kerusakan hutan yang masif dan alih fungsi lahan.
Dalam konferensi pers, Direktur Eksekutif Walhi Sumut Rianda Purba mengatakan bahwa 2 ribu hektare hutan di Sumut rusak dalam 10 tahun terakhir. "Kerusakan hutan di sana itu disebabkan ya, dipicu ya, oleh beberapa perusahaan. Jadi kita menyangkal pernyataan dari Gubernur Sumatera Utara bahwa banjir tersebut karena cuaca ekstrem," katanya.
Rianda juga mengatakan bahwa perubahan status kawasan hutan membuka pintu bagi perusahaan untuk masuk dan merusak ekosistem di Bukit Batang Toru. "Khususnya wilayah ekosistem Batang Toru atau Harangan Tapanuli ini, seenaknya saja dirubah dari hutan, status hukumnya menjadi non-hutan, menjadi APL. Nah, itu salah satunya adalah SK Nomor 579."
Dalam kesempatan tersebut, Rianda juga mengatakan bahwa Walhi mendapat laporan tentang kondisi di Desa Kwala Serapuh, Kabupaten Langkat, yang menurutnya belum mendapat bantuan dan korban banjir di wilayah itu belum terdata oleh pemerintah. "Itu mereka sudah 5 hari itu tanpa ada pasokan makanan di Langkat. Ini desa pesisir yang juga tenggelam, sudahlah sering menjadi korban banjir rob ya," katanya.
BPBD Sumatera Utara sebelumnya mencatat jumlah korban akibat banjir dan longsor yang melanda beberapa wilayah di provinsi semakin meningkat. "Total warga terdampak saat ini mencapai 360.216 kepala keluarga atau 1.358.348 jiwa," ujar Kabid Penanganan Darurat, Peralatan, dan Logistik BPBD Sumut.
Sementara itu, korban banjir di wilayah tersebut masih meningkat seiring intensitas operasi SAR yang dilakukan.