Aturan baru terkait pungutan dana perkebunan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebenarnya adalah upaya untuk mendorong hilirisasi biji kakao. Namun, apakah aturan ini benar-benar dapat mendorong penguatan industri dan pertanian kakao?
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2025, diatur tarif pungutan ekspor biji kakao ditetapkan secara progresif mengikuti harga referensi di pasar global. Jika harga biji kakao di bawah atau sama dengan USD 2.000 per ton maka tidak dikenakan pungutan, jika harga di US2.000-2.750 per ton maka pungutan 2,5%, dan jika harganya naik menjadi USD 2.750-3.500 per ton tarif naik jadi 5% dan jika harga di atas USD 3.500 per ton maka pungutan menjadi 7,5% dari nilai ekspor.
Tentu saja tidak semua petani akan merasa senang dengan aturan baru ini. Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Jeffrey Haribowo, mengatakan bahwa aturan pungutan ekspor biji kakao sudah dilakukan sejak 10 tahun lalu yang dimaksudkan untuk mendorong hilirisasi biji kakao karena hanya dikenakan untuk ekspor biji kakao raw. Namun, apakah petani-petani akan merasa lebih senang dengan aturan baru ini?
Sekarang hasil pungutan akan dibagi menjadi 2 dengan sebagian untuk setoran ke APBN dan sisanya digunakan oleh Badan Pengolah Dana Perkebunan (BPDP) untuk pengembangan industri kakao. Apakah ini benar-benar dapat membantu mengatasi persoalan hama tanaman kakao atau Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)?
Penyakit seperti serangan serangga pengerek hingga penyakit jamur Vascular Streak Dieback (VSD), yang bisa menyebabkan produksi 30-80%. Apakah aturan baru ini dapat membantu mengatasi masalah ini?
Menurut Jeffrey Haribowo, Askindo berharap aturan pungutan ekspor biji kakao dapat mendorong penguatan industri dan pertanian kakao termasuk mengatasi persoalan hama tanaman kakao. Namun, apakah asosiasi ini benar-benar memiliki rencana untuk mengatasi masalah ini?
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2025, diatur tarif pungutan ekspor biji kakao ditetapkan secara progresif mengikuti harga referensi di pasar global. Jika harga biji kakao di bawah atau sama dengan USD 2.000 per ton maka tidak dikenakan pungutan, jika harga di US2.000-2.750 per ton maka pungutan 2,5%, dan jika harganya naik menjadi USD 2.750-3.500 per ton tarif naik jadi 5% dan jika harga di atas USD 3.500 per ton maka pungutan menjadi 7,5% dari nilai ekspor.
Tentu saja tidak semua petani akan merasa senang dengan aturan baru ini. Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Jeffrey Haribowo, mengatakan bahwa aturan pungutan ekspor biji kakao sudah dilakukan sejak 10 tahun lalu yang dimaksudkan untuk mendorong hilirisasi biji kakao karena hanya dikenakan untuk ekspor biji kakao raw. Namun, apakah petani-petani akan merasa lebih senang dengan aturan baru ini?
Sekarang hasil pungutan akan dibagi menjadi 2 dengan sebagian untuk setoran ke APBN dan sisanya digunakan oleh Badan Pengolah Dana Perkebunan (BPDP) untuk pengembangan industri kakao. Apakah ini benar-benar dapat membantu mengatasi persoalan hama tanaman kakao atau Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)?
Penyakit seperti serangan serangga pengerek hingga penyakit jamur Vascular Streak Dieback (VSD), yang bisa menyebabkan produksi 30-80%. Apakah aturan baru ini dapat membantu mengatasi masalah ini?
Menurut Jeffrey Haribowo, Askindo berharap aturan pungutan ekspor biji kakao dapat mendorong penguatan industri dan pertanian kakao termasuk mengatasi persoalan hama tanaman kakao. Namun, apakah asosiasi ini benar-benar memiliki rencana untuk mengatasi masalah ini?