Penyitaan Buku Pascademo, Ini Menunjukkan Sikap Polisi Otoriter
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menilai penyitaan buku yang dilakukan oleh aparat kepolisian pascagelombang demonstrasi akhir Agustus 2025, menunjukkan sikap otoriter. Menurutnya, dalam negara demokratis, buku seharusnya tidak boleh disita, apalagi dijadikan sebagai alat bukti dari tindakan kriminal.
"Kalau seandainya [buku] itu disita sebagai barang bukti kejahatan, itu jadi polisi otoriter. Padahal di dalam negara demokratis, buku-buku itu tidak boleh misalnya dijadikan bahan bukti kriminal, kecuali buku itu hasil curian," kata Usman dalam acara Sarasehan dan Dialog Kebangsaan 74 Tahun Humas Polri.
Usman menegaskan bahwa penyitaan buku yang diklaim mengandung paham-paham anarkisme itu justru menunjukkan bahwa polisi sebenarnya tidak mengerti apa arti dari paham tersebut. Pasalnya, anarkisme disebut Usman justru sangat berkaitan dengan nilai humanisme yang saat ini kerap dipromosikan oleh polisi.
"Tapi kalau isi bukunya yang jadi masalah, misalnya mengandung anarkisme, itu hanya menunjukkan polisi tidak paham apa itu anarkisme," ucap Usman. "Bahkan humanisme yang kita bicarakan hari ini, polisi humanis, itu sebenarnya bagian dari integral, dari apa yang disebut sebagai anarkisme."
Usman menyarankan agar polisi, khususnya yang berperan melakukan tugas kehumasan, untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial dan politik. Sehingga, ke depannya, penyitaan buku tidak akan terulang kembali.
"Jadi perspektif-perspektif pengetahuan ilmu politik, ilmu sosial semacam ini, saya kira sangat dibutuhkan untuk lingkungan kepolisian, khususnya humas-humas Polri," tuturnya.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menilai penyitaan buku yang dilakukan oleh aparat kepolisian pascagelombang demonstrasi akhir Agustus 2025, menunjukkan sikap otoriter. Menurutnya, dalam negara demokratis, buku seharusnya tidak boleh disita, apalagi dijadikan sebagai alat bukti dari tindakan kriminal.
"Kalau seandainya [buku] itu disita sebagai barang bukti kejahatan, itu jadi polisi otoriter. Padahal di dalam negara demokratis, buku-buku itu tidak boleh misalnya dijadikan bahan bukti kriminal, kecuali buku itu hasil curian," kata Usman dalam acara Sarasehan dan Dialog Kebangsaan 74 Tahun Humas Polri.
Usman menegaskan bahwa penyitaan buku yang diklaim mengandung paham-paham anarkisme itu justru menunjukkan bahwa polisi sebenarnya tidak mengerti apa arti dari paham tersebut. Pasalnya, anarkisme disebut Usman justru sangat berkaitan dengan nilai humanisme yang saat ini kerap dipromosikan oleh polisi.
"Tapi kalau isi bukunya yang jadi masalah, misalnya mengandung anarkisme, itu hanya menunjukkan polisi tidak paham apa itu anarkisme," ucap Usman. "Bahkan humanisme yang kita bicarakan hari ini, polisi humanis, itu sebenarnya bagian dari integral, dari apa yang disebut sebagai anarkisme."
Usman menyarankan agar polisi, khususnya yang berperan melakukan tugas kehumasan, untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial dan politik. Sehingga, ke depannya, penyitaan buku tidak akan terulang kembali.
"Jadi perspektif-perspektif pengetahuan ilmu politik, ilmu sosial semacam ini, saya kira sangat dibutuhkan untuk lingkungan kepolisian, khususnya humas-humas Polri," tuturnya.