"UKSW: Teladan Inklusif di Kalangan Kampus Kristen"
Banyaknya kampus Kristen yang menawarkan mata kuliah Islamologi justru bukanlah satu-satunya pilihan bagi mahasiswa muslim untuk mempelajari agama lain. Di sisi lain, tidak ada satu pun kampus Muslim yang membuka mata kuliah Kristologi dan diajar para sarjana Kristen.
Mengingat UKSW sebagai contoh yang baik dalam menyikapi kebinekaan di kalangan kampus Kristen. Banyak program akademik dan nonakademik yang bertujuan untuk mengajarkan dan memahami keagamaan serta kebudayaan dari berbagai agama. Salah satunya adalah mata kuliah Islam dan Muslim Indonesia (IMI) bagi mahasiswa S-1 Fakultas Teologi, yang selama semester ini saya mengajar dengan pendaftar lebih dari 300 mahasiswa.
Mengingat spiritualitas, toleransi, dan pluralisme yang kuat di kampus ini menjadi contoh yang baik bagi umat Kristen untuk menyesuaikan diri dengan kebinekaan masyarakat Indonesia. Selain itu, diselenggarakannya "Center of Excellence" (CoE) untuk memadukan riset, pengajaran, dan pengabdian mengenai agama-agama global maupun lokal juga menjadi contoh positif.
Namun, apakah ini semua hanya sekedar 'rahasia umum' bagi kampus-kampus Kristen? Bagi saya, hal ini justru merupakan 'teladan umat islam'. Di berbagai lapisan masyarakat Indonesia yang lebih banyak orang yang beragama muslim dibandingkan agama lain, di mana kampus Muslim memiliki program-studi kekristenan dan diajar para sarjana Kristen.
Sementara itu, di Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah, dan negara-negara lain masih kurang banyak kampus yang menawarkan program studi Islam. Meskipun ada beberapa kampus muslim yang membuka mata kuliah keislaman, tetapi pengajarnya biasanya sarjana Muslim serta dilakukan dalam semangat apologetik untuk "mengadili" atau "menjahit" agama lain.
Puluh tahun mengajar di luar negeri membuat saya merasakan bahwa kampus nonmuslim (Kristen, Yahudi, dll) lebih toleran dan terbuka dibandingkan dengan kampus muslim. Di Amerika Utara dan Eropa banyak sekali mahasiswa pascasarjana yang memajang dan mempresentasikan "makalah poster" di konferensi mengenai berbagai topik keislaman dan fenomena sosial masyarakat muslim.
Sementara itu, di Indonesia, terdapat beberapa kampus Muslim yang menawarkan program studi agama-agama (seperti mata kuliah Islamologi dan diajar sarjana muslim), tetapi pengajarnya cenderung lebih 'apologetik' daripada membangun fondasi intelektual-spiritual egaliter untuk saling belajar dan memahami keunikan tiap tradisi agama.
Banyaknya kampus Kristen yang menawarkan mata kuliah Islamologi justru bukanlah satu-satunya pilihan bagi mahasiswa muslim untuk mempelajari agama lain. Di sisi lain, tidak ada satu pun kampus Muslim yang membuka mata kuliah Kristologi dan diajar para sarjana Kristen.
Mengingat UKSW sebagai contoh yang baik dalam menyikapi kebinekaan di kalangan kampus Kristen. Banyak program akademik dan nonakademik yang bertujuan untuk mengajarkan dan memahami keagamaan serta kebudayaan dari berbagai agama. Salah satunya adalah mata kuliah Islam dan Muslim Indonesia (IMI) bagi mahasiswa S-1 Fakultas Teologi, yang selama semester ini saya mengajar dengan pendaftar lebih dari 300 mahasiswa.
Mengingat spiritualitas, toleransi, dan pluralisme yang kuat di kampus ini menjadi contoh yang baik bagi umat Kristen untuk menyesuaikan diri dengan kebinekaan masyarakat Indonesia. Selain itu, diselenggarakannya "Center of Excellence" (CoE) untuk memadukan riset, pengajaran, dan pengabdian mengenai agama-agama global maupun lokal juga menjadi contoh positif.
Namun, apakah ini semua hanya sekedar 'rahasia umum' bagi kampus-kampus Kristen? Bagi saya, hal ini justru merupakan 'teladan umat islam'. Di berbagai lapisan masyarakat Indonesia yang lebih banyak orang yang beragama muslim dibandingkan agama lain, di mana kampus Muslim memiliki program-studi kekristenan dan diajar para sarjana Kristen.
Sementara itu, di Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah, dan negara-negara lain masih kurang banyak kampus yang menawarkan program studi Islam. Meskipun ada beberapa kampus muslim yang membuka mata kuliah keislaman, tetapi pengajarnya biasanya sarjana Muslim serta dilakukan dalam semangat apologetik untuk "mengadili" atau "menjahit" agama lain.
Puluh tahun mengajar di luar negeri membuat saya merasakan bahwa kampus nonmuslim (Kristen, Yahudi, dll) lebih toleran dan terbuka dibandingkan dengan kampus muslim. Di Amerika Utara dan Eropa banyak sekali mahasiswa pascasarjana yang memajang dan mempresentasikan "makalah poster" di konferensi mengenai berbagai topik keislaman dan fenomena sosial masyarakat muslim.
Sementara itu, di Indonesia, terdapat beberapa kampus Muslim yang menawarkan program studi agama-agama (seperti mata kuliah Islamologi dan diajar sarjana muslim), tetapi pengajarnya cenderung lebih 'apologetik' daripada membangun fondasi intelektual-spiritual egaliter untuk saling belajar dan memahami keunikan tiap tradisi agama.