Trilogi Kerukunan dan Ekoteologi Dilepas, Menag Ajak Umat Jaga Alam sebagai Amanah Ilahi
Di tengah kesadaran global akan krisis lingkungan yang semakin meningkat, Menteri Agama KH Nasaruddin Umar menegaskan bahwa pelestarian alam tidak dapat dilepaskan dari spiritualitas dan ajaran agama. Pernyataannya diluncurkan melalui "Ekoteologi, Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama 2025–2029", serta Trilogi Kerukunan yang dijadwalkan untuk dipublikasikan pada awal tahun 2026.
Menariknya, ekoteologi bukan sekadar konsep akademik, tetapi juga kerangka berpikir yang menghubungkan manusia, alam, dan Tuhan. "Kita sering bertanya apa itu ekoteologi dan bagaimana wujudnya. Ekoteologi adalah upaya memahami alam sebagai tanda keberadaan Tuhan. Dalam tradisi agama, alam disebut ayat—tanda ilahi yang mengandung pesan," ungkap Menag.
Menurut Menag, manusia tidak mungkin membicarakan alam tanpa menyertakan Tuhan sebagai pencipta. Dalam perspektif ini, alam tidak hanya objek fisik, tetapi realitas yang memiliki dimensi batin dan nilai spiritual. "Alam adalah tanda keberadaan Tuhan. Karena itu, tidak mungkin kita memisahkan pembahasan lingkungan dari teologi. Kesadaran inilah yang mendasari konsep ekoteologi," kata Nasaruddin.
Dalam peluncuran ini, Menag juga menyinggung pandangan para filsuf dan teolog seperti Descartes, Plotinus, hingga Ibn Arabi yang menggambarkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. "Kalau kita sadar bahwa segala sesuatu punya batin, punya 'jawhar',kita tidak mungkin merusak alam. Membakar hutan sama artinya merusak tanda keberadaan Tuhan," tuturnya.
Menurut Menag, konsep ekoteologi memiliki landasan dalam berbagai tradisi besar seperti Islam, Hindu, Taoisme, dan filsafat klasik yang menunjukkan bahwa hampir semua ajaran agama mengandung etika ekologis. "Alam adalah partner, bukan objek. Engkau adalah aku, aku adalah engkau. Kalau engkau mati, aku mati," tegasnya.
Dalam kesempatan peluncuran, Menag juga mengapresiasi Kepala BMBPSDM Muhammad Ali Ramdhani yang meluncurkan buku pengantar ekoteologi. Ia berharap ke depan lahir karya yang lebih komprehensif untuk mengurai hubungan manusia–alam–Tuhan dalam perspektif moderasi beragama.
Menariknya, peluncuran Trilogi Kerukunan dan Ekoteologi ini diharapkan menjadi tonggak baru bagi Kemenag dalam mengarusutamakan spiritualitas ekologis dan kerukunan lintas agama dalam pembangunan nasional.
Di tengah kesadaran global akan krisis lingkungan yang semakin meningkat, Menteri Agama KH Nasaruddin Umar menegaskan bahwa pelestarian alam tidak dapat dilepaskan dari spiritualitas dan ajaran agama. Pernyataannya diluncurkan melalui "Ekoteologi, Peta Jalan Penguatan Moderasi Beragama 2025–2029", serta Trilogi Kerukunan yang dijadwalkan untuk dipublikasikan pada awal tahun 2026.
Menariknya, ekoteologi bukan sekadar konsep akademik, tetapi juga kerangka berpikir yang menghubungkan manusia, alam, dan Tuhan. "Kita sering bertanya apa itu ekoteologi dan bagaimana wujudnya. Ekoteologi adalah upaya memahami alam sebagai tanda keberadaan Tuhan. Dalam tradisi agama, alam disebut ayat—tanda ilahi yang mengandung pesan," ungkap Menag.
Menurut Menag, manusia tidak mungkin membicarakan alam tanpa menyertakan Tuhan sebagai pencipta. Dalam perspektif ini, alam tidak hanya objek fisik, tetapi realitas yang memiliki dimensi batin dan nilai spiritual. "Alam adalah tanda keberadaan Tuhan. Karena itu, tidak mungkin kita memisahkan pembahasan lingkungan dari teologi. Kesadaran inilah yang mendasari konsep ekoteologi," kata Nasaruddin.
Dalam peluncuran ini, Menag juga menyinggung pandangan para filsuf dan teolog seperti Descartes, Plotinus, hingga Ibn Arabi yang menggambarkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. "Kalau kita sadar bahwa segala sesuatu punya batin, punya 'jawhar',kita tidak mungkin merusak alam. Membakar hutan sama artinya merusak tanda keberadaan Tuhan," tuturnya.
Menurut Menag, konsep ekoteologi memiliki landasan dalam berbagai tradisi besar seperti Islam, Hindu, Taoisme, dan filsafat klasik yang menunjukkan bahwa hampir semua ajaran agama mengandung etika ekologis. "Alam adalah partner, bukan objek. Engkau adalah aku, aku adalah engkau. Kalau engkau mati, aku mati," tegasnya.
Dalam kesempatan peluncuran, Menag juga mengapresiasi Kepala BMBPSDM Muhammad Ali Ramdhani yang meluncurkan buku pengantar ekoteologi. Ia berharap ke depan lahir karya yang lebih komprehensif untuk mengurai hubungan manusia–alam–Tuhan dalam perspektif moderasi beragama.
Menariknya, peluncuran Trilogi Kerukunan dan Ekoteologi ini diharapkan menjadi tonggak baru bagi Kemenag dalam mengarusutamakan spiritualitas ekologis dan kerukunan lintas agama dalam pembangunan nasional.