Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengakui bahwa industri kelautan dan perikanan Indonesia masih kalah dari negara-negara lain di Asia, seperti Vietnam dan Jepang. Meskipun memiliki potensi besar.
Indonesia memiliki kemampuan produksi produk perikanan hasil tangkapan sebanyak 7,5 juta ton dalam setahun, serta mampu menghasilkan produk perikanan dari proses budidaya sebanyak 5,5 juta ton per tahun. Namun, kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional masih di level 2,59%.
Sementara itu, ekspor produk perikanan nasional hanya mencapai rata-rata US$ 5,5 miliar dalam setahun. Ekspor tersebut ditopang oleh beberapa komoditas andalan seperti udang, rumput laut, tuna cakalang, sotong, dan gurita.
Hanya saja, jika membandingkannya dengan pasar perikanan dunia, Indonesia masih kalah. Saat ini, pasar makanan laut (seafood) global bernilai hingga US$ 414 miliar, di mana Norwegia menjadi salah satu pemimpin utama di sektor tersebut.
"Mengapa Indonesia tidak bisa bersaing dengan Norwegia? Itu karena Norwegia memiliki salmonnya yang sangat berkualitas," kata Trenggono.
Sementara itu, ia juga mengaku bahwa belum ada satu pun perusahaan perikanan di Indonesia yang memiliki valuasi lebih dari US$ 1 miliar. Hal ini menandakan Indonesia masih tertinggal di sektor tersebut. Bahkan, Indonesia kalah dibandingkan dengan Thailand yang memiliki perusahaan perikanan bervaluasi sekitar US$ 5 miliar.
Menurut Trenggono, kunci kesuksesan di sektor ini bergantung pada kemampuan seluruh pelaku usaha maupun stakeholder terkait dalam mengembangkan budidaya perikanan.
"Dia-diam, Indonesia sudah memiliki potensi besar untuk mengembangkan budidaya perikanan," kata Trenggono.
Namun, meskipun memiliki potensi besar, Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Vietnam dan Jepang dalam hal produksi dan ekspor produk perikanan. Padahal, sumber daya yang dimiliki Indonesia lebih banyak dibandingkan kedua negara tersebut.
"Dia-diam, Indonesia juga sudah memiliki kemampuan yang cukup untuk mengembangkan budidaya perikanan," kata Trenggono.
Namun, belum dapat dijalankan.
Indonesia memiliki kemampuan produksi produk perikanan hasil tangkapan sebanyak 7,5 juta ton dalam setahun, serta mampu menghasilkan produk perikanan dari proses budidaya sebanyak 5,5 juta ton per tahun. Namun, kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional masih di level 2,59%.
Sementara itu, ekspor produk perikanan nasional hanya mencapai rata-rata US$ 5,5 miliar dalam setahun. Ekspor tersebut ditopang oleh beberapa komoditas andalan seperti udang, rumput laut, tuna cakalang, sotong, dan gurita.
Hanya saja, jika membandingkannya dengan pasar perikanan dunia, Indonesia masih kalah. Saat ini, pasar makanan laut (seafood) global bernilai hingga US$ 414 miliar, di mana Norwegia menjadi salah satu pemimpin utama di sektor tersebut.
"Mengapa Indonesia tidak bisa bersaing dengan Norwegia? Itu karena Norwegia memiliki salmonnya yang sangat berkualitas," kata Trenggono.
Sementara itu, ia juga mengaku bahwa belum ada satu pun perusahaan perikanan di Indonesia yang memiliki valuasi lebih dari US$ 1 miliar. Hal ini menandakan Indonesia masih tertinggal di sektor tersebut. Bahkan, Indonesia kalah dibandingkan dengan Thailand yang memiliki perusahaan perikanan bervaluasi sekitar US$ 5 miliar.
Menurut Trenggono, kunci kesuksesan di sektor ini bergantung pada kemampuan seluruh pelaku usaha maupun stakeholder terkait dalam mengembangkan budidaya perikanan.
"Dia-diam, Indonesia sudah memiliki potensi besar untuk mengembangkan budidaya perikanan," kata Trenggono.
Namun, meskipun memiliki potensi besar, Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Vietnam dan Jepang dalam hal produksi dan ekspor produk perikanan. Padahal, sumber daya yang dimiliki Indonesia lebih banyak dibandingkan kedua negara tersebut.
"Dia-diam, Indonesia juga sudah memiliki kemampuan yang cukup untuk mengembangkan budidaya perikanan," kata Trenggono.
Namun, belum dapat dijalankan.