Ketua Umum Relawan Solidaritas Merah Putih Silfester Matutina, yang saat ini berstatus terpidana, akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kedua di kasus dugaan fitnah dan pencemaran nama baik presiden Joko Widodo. Pengacara Silfester, Lechumanan, mengatakan bahwa putusan gugurannya di pengadilan pertama tidak sah karena ia tidak hadir dalam proses persidangan.
"Kami berencana untuk mengajukan lagi PK kedua," kata Lechumanan kepada wartawan. "Kami memiliki hak yang telah diatur oleh Undang-Undang. Oleh sebab itu, kami meminta agar Kejaksaan tidak memaksakan proses eksekusi terhadap relawan presiden kita."
Lechumanan menegaskan bahwa pengajuan PK kedua merupakan hak Silfester yang telah diatur oleh Undang-Undang. Ia juga menolak kegagalan Kejaksaan untuk mengutuk gugatan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKI) karena kasusnya sudah kedaluwarsa.
"Jelas, gugatannya ditolak. Artinya apa? Eksekusi tidak perlu dilaksanakan lagi. Bahwa peristiwa tersebut telah kedaluwarsa dan tidak patut untuk dieksekusi lagi," tuturnya.
Silfester dijerat kasus dugaan pencemaran nama baik dan fitnah setelah Solihin Kalla, anak Jusuf Kalla, melaporkannya pada 2017 terkait ucapannya dalam orasi. Silfester kemudian dijatuhi vonis 1 tahun penjara pada 30 Juli 2018. Putusan itu lantas dikuatkan di tingkat banding yang dibacakan pada 29 Oktober 2018.
Namun, hingga saat ini putusan majelis hakim kasasi belum juga dieksekusi. Silfester justru mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terbaru, putusannya resmi digugurkan oleh Ketua Majelis Hakim I Ketut Darpawan.
Lechumanan menegaskan bahwa pengajuan PK kedua akan dilakukan karena ada perbedaan pendapat antara Silfester dan Kejaksaan dalam peninjauan kembali kasusnya.
"Kami berencana untuk mengajukan lagi PK kedua," kata Lechumanan kepada wartawan. "Kami memiliki hak yang telah diatur oleh Undang-Undang. Oleh sebab itu, kami meminta agar Kejaksaan tidak memaksakan proses eksekusi terhadap relawan presiden kita."
Lechumanan menegaskan bahwa pengajuan PK kedua merupakan hak Silfester yang telah diatur oleh Undang-Undang. Ia juga menolak kegagalan Kejaksaan untuk mengutuk gugatan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKI) karena kasusnya sudah kedaluwarsa.
"Jelas, gugatannya ditolak. Artinya apa? Eksekusi tidak perlu dilaksanakan lagi. Bahwa peristiwa tersebut telah kedaluwarsa dan tidak patut untuk dieksekusi lagi," tuturnya.
Silfester dijerat kasus dugaan pencemaran nama baik dan fitnah setelah Solihin Kalla, anak Jusuf Kalla, melaporkannya pada 2017 terkait ucapannya dalam orasi. Silfester kemudian dijatuhi vonis 1 tahun penjara pada 30 Juli 2018. Putusan itu lantas dikuatkan di tingkat banding yang dibacakan pada 29 Oktober 2018.
Namun, hingga saat ini putusan majelis hakim kasasi belum juga dieksekusi. Silfester justru mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terbaru, putusannya resmi digugurkan oleh Ketua Majelis Hakim I Ketut Darpawan.
Lechumanan menegaskan bahwa pengajuan PK kedua akan dilakukan karena ada perbedaan pendapat antara Silfester dan Kejaksaan dalam peninjauan kembali kasusnya.