Presiden AS Donald Trump dikenal sebagai pengguna internet yang sangataktif, namun seringkali mengelilingi dirinya dengan kontroversi. Salah satu contoh strategi komunikasi intinya adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk menciptakan citra palsu dan menyerang kritikusnya.
Dalam beberapa minggu terakhir, Trump secara rutin menggunakan AI untuk mengagungkan dirinya sendiri dan menyerang lawan-lawannya. Misalnya, ia memposting video AI yang menunjukkan dirinya mengenakan mahkota dan menerbangkan jet tempur berlabel "King Trump", yang menjatuhkan sesuatu yang tampak seperti kotoran ke kerumunan pengunjuk rasa penentangnya.
Ia juga memposting gambar AI yang menggambarkan dirinya sebagai Superman di tengah spekulasi media sosial tentang kesehatannya. Gambar lain menunjukkan dirinya berpakaian seperti Paus, mengaum di samping singa, atau memimpin orkestra di Kennedy Center.
Selain itu, Trump juga menggunakan AI untuk mengejek lawan-lawan politiknya. Misalnya, ia memposting video AI mantan Presiden Barack Obama ditangkap dengan mengenakan pakaian tahanan berwarna oranye.
Citra palsu yang dibuat ini berhasil menipu beberapa pengguna media sosial yang mempertanyakan keasliannya. Para kritikus menyebut bahwa AI generatif yang tidak diatur adalah alat yang sempurna bagi seseorang seperti Trump untuk menarik perhatian publik dan mendistorsi realitas.
"Dengan menggunakan AI, Trump dapat memperdagangkan disinformasi secara online dan offline untuk meningkatkan citranya sendiri, menyerang musuh-musuhnya, dan mengendalikan wacana publik," kata penasihat senior di kelompok advokasi Free Press, Nora Benavidez.
Beberapa pengamat melihat strategi ini lebih sebagai kampanye melalui "trolling" daripada upaya aktif untuk menyebarkan keyakinan palsu. "Saya melihat perilakunya lebih sebagai kampanye melalui trolling daripada upaya aktif untuk menyebarkan keyakinan palsu bahwa gambar-gambar ini menggambarkan realitas," jelas Joshua Tucker, co-direktur Pusat Media Sosial dan Politik New York University.
Dengan menggunakan AI, Trump dapat menciptakan citra yang lebih menarik dan mempertahankan perhatian publik. Namun, strategi ini juga dapat merugikan demokrasi dan keseragaman informasi di masyarakat.
Dalam beberapa minggu terakhir, Trump secara rutin menggunakan AI untuk mengagungkan dirinya sendiri dan menyerang lawan-lawannya. Misalnya, ia memposting video AI yang menunjukkan dirinya mengenakan mahkota dan menerbangkan jet tempur berlabel "King Trump", yang menjatuhkan sesuatu yang tampak seperti kotoran ke kerumunan pengunjuk rasa penentangnya.
Ia juga memposting gambar AI yang menggambarkan dirinya sebagai Superman di tengah spekulasi media sosial tentang kesehatannya. Gambar lain menunjukkan dirinya berpakaian seperti Paus, mengaum di samping singa, atau memimpin orkestra di Kennedy Center.
Selain itu, Trump juga menggunakan AI untuk mengejek lawan-lawan politiknya. Misalnya, ia memposting video AI mantan Presiden Barack Obama ditangkap dengan mengenakan pakaian tahanan berwarna oranye.
Citra palsu yang dibuat ini berhasil menipu beberapa pengguna media sosial yang mempertanyakan keasliannya. Para kritikus menyebut bahwa AI generatif yang tidak diatur adalah alat yang sempurna bagi seseorang seperti Trump untuk menarik perhatian publik dan mendistorsi realitas.
"Dengan menggunakan AI, Trump dapat memperdagangkan disinformasi secara online dan offline untuk meningkatkan citranya sendiri, menyerang musuh-musuhnya, dan mengendalikan wacana publik," kata penasihat senior di kelompok advokasi Free Press, Nora Benavidez.
Beberapa pengamat melihat strategi ini lebih sebagai kampanye melalui "trolling" daripada upaya aktif untuk menyebarkan keyakinan palsu. "Saya melihat perilakunya lebih sebagai kampanye melalui trolling daripada upaya aktif untuk menyebarkan keyakinan palsu bahwa gambar-gambar ini menggambarkan realitas," jelas Joshua Tucker, co-direktur Pusat Media Sosial dan Politik New York University.
Dengan menggunakan AI, Trump dapat menciptakan citra yang lebih menarik dan mempertahankan perhatian publik. Namun, strategi ini juga dapat merugikan demokrasi dan keseragaman informasi di masyarakat.