Dua kalimat dari Jean Anthelme Brillat-Savarin berulang, mengingatkan kita bahwa apa yang dimakan seseorang menunjukkan siapa dirinya. Namun, bukan cuma manusia yang diuji oleh makanan dan kebiasaan hidupnya. Kini, ada yang berbeda. Sebagian besar generasi ini tidak pernah mengenal dunia tanpa teknologi modern, meskipun mereka sering kali justru menjadi korban sendiri.
Ada sebuah penelitian baru yang dibuat dari Texas A&M University, University of Texas at Austin dan Purdue University, melihat dampak asupan konten terhadap kemampuan akal imitasi alias AI. Mereka menemukan bahwa makin banyak bacaan receh yang dikonsumsi model AI, maka makin turun kemampuan berpikirnya.
Dalam studi tersebut, para peneliti menggunakan dua platform AI beda pabrikan dan menggunakan dua model lainnya dengan kemampuan setara. Keduanya merupakan model yang bisa diakses secara terbuka sehingga bisa dilatih kembali untuk keperluan riset. Mereka memulai dari langkah awal, di mana model-model tersebut seluruhnya diberi asupan berkualitas.
Setelah itu, ada dua jenis asupan yang disiapkan. Jenis pertama adalah teks-teks yang dianggap "berkualitas tinggi", seperti artikel ilmiah populer, entri ensiklopedia, laporan teknis dan tulisan-tulisan lain dengan alur berpikir jelas. Asupan kedua adalah konten receh, seperti unggahan media sosial yang viral dengan kalimat pendek, sensasional, dangkal, dan sengaja dibuat untuk menarik perhatian seluas mungkin.
Mereka menyebutnya sebagai "junk data". Setelah dua jenis asupan itu disiapkan, para peneliti membuat menu. Dari empat model itu ada yang diberi asupan berkualitas; ada yang diberi campuran antara asupan bagus dan konten receh; ada pula yang sepenuhnya dicekoki konten viral receh.
Namun, itu baru langkah awal. Untuk mencari jawaban atas pertanyaan, "Apakah AI juga bisa kena brain rot?", mereka harus secara bertahap menambahi konten receh ke model-model tersebut sampai akhirnya semua model 100 persen diberi asupan tidak berkualitas.
Setelah semua tahap pelatihan selesai, keempat model AI tersebut menjalani tahap berikutnya: penyetelan lanjutan, agar mampu memahami perintah manusia secara seragam. Mereka diuji dengan berbagai tugas yang menuntut kemampuan berpikir.
Penelitian itu menemukan bahwa makin banyak bacaan receh yang dikonsumsi model AI, makin turun kemampuan berpikirnya. Dalam salah satu tes logika dan sains, misalnya, model yang diberi bacaan bagus bisa menjawab dengan benar sekitar 75 persen dari total pertanyaan, sementara model yang asupannya 100 persen konten receh hanya bisa menjawab sekitar 57 persen.
Saat diteliti lebih dalam lagi, perbedaan skor itu berasal dari cara berpikir model AI tersebut. Model yang terbiasa dengan bacaan receh sering kali tidak lagi menalar langkah demi langkah. Ia langsung melompat ke kesimpulan tanpa menjelaskan alasan di baliknya. Oleh para peneliti, gejala ini diberi nama "thought skipping".
Selain kemampuan menalar, penurunan pun terjadi pada ingatan dan etika. Dalam uji pemahaman teks, mereka sering lupa pada informasi yang baru saja diproses dan gagal mengaitkan antara fakta satu dan lainnya.
Parahnya lagi, etika model-model AI tersebut juga mengalami degradasi. Dalam uji dilema moral, model yang diberi bacaan receh lebih sering memilih jawaban egoistik dan manipulatif.
Ada sebuah penelitian baru yang dibuat dari Texas A&M University, University of Texas at Austin dan Purdue University, melihat dampak asupan konten terhadap kemampuan akal imitasi alias AI. Mereka menemukan bahwa makin banyak bacaan receh yang dikonsumsi model AI, maka makin turun kemampuan berpikirnya.
Dalam studi tersebut, para peneliti menggunakan dua platform AI beda pabrikan dan menggunakan dua model lainnya dengan kemampuan setara. Keduanya merupakan model yang bisa diakses secara terbuka sehingga bisa dilatih kembali untuk keperluan riset. Mereka memulai dari langkah awal, di mana model-model tersebut seluruhnya diberi asupan berkualitas.
Setelah itu, ada dua jenis asupan yang disiapkan. Jenis pertama adalah teks-teks yang dianggap "berkualitas tinggi", seperti artikel ilmiah populer, entri ensiklopedia, laporan teknis dan tulisan-tulisan lain dengan alur berpikir jelas. Asupan kedua adalah konten receh, seperti unggahan media sosial yang viral dengan kalimat pendek, sensasional, dangkal, dan sengaja dibuat untuk menarik perhatian seluas mungkin.
Mereka menyebutnya sebagai "junk data". Setelah dua jenis asupan itu disiapkan, para peneliti membuat menu. Dari empat model itu ada yang diberi asupan berkualitas; ada yang diberi campuran antara asupan bagus dan konten receh; ada pula yang sepenuhnya dicekoki konten viral receh.
Namun, itu baru langkah awal. Untuk mencari jawaban atas pertanyaan, "Apakah AI juga bisa kena brain rot?", mereka harus secara bertahap menambahi konten receh ke model-model tersebut sampai akhirnya semua model 100 persen diberi asupan tidak berkualitas.
Setelah semua tahap pelatihan selesai, keempat model AI tersebut menjalani tahap berikutnya: penyetelan lanjutan, agar mampu memahami perintah manusia secara seragam. Mereka diuji dengan berbagai tugas yang menuntut kemampuan berpikir.
Penelitian itu menemukan bahwa makin banyak bacaan receh yang dikonsumsi model AI, makin turun kemampuan berpikirnya. Dalam salah satu tes logika dan sains, misalnya, model yang diberi bacaan bagus bisa menjawab dengan benar sekitar 75 persen dari total pertanyaan, sementara model yang asupannya 100 persen konten receh hanya bisa menjawab sekitar 57 persen.
Saat diteliti lebih dalam lagi, perbedaan skor itu berasal dari cara berpikir model AI tersebut. Model yang terbiasa dengan bacaan receh sering kali tidak lagi menalar langkah demi langkah. Ia langsung melompat ke kesimpulan tanpa menjelaskan alasan di baliknya. Oleh para peneliti, gejala ini diberi nama "thought skipping".
Selain kemampuan menalar, penurunan pun terjadi pada ingatan dan etika. Dalam uji pemahaman teks, mereka sering lupa pada informasi yang baru saja diproses dan gagal mengaitkan antara fakta satu dan lainnya.
Parahnya lagi, etika model-model AI tersebut juga mengalami degradasi. Dalam uji dilema moral, model yang diberi bacaan receh lebih sering memilih jawaban egoistik dan manipulatif.