Kekerasan seksual di kampus, seringkali menjadi topik yang menyentuh hati. Serikat Pekerja Kampus (SPK) melaporkan bahwa kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi masih menjadi masalah yang serius dan tidak teratasi dengan baik.
Menurut survei terhadap 421 responden pekerja kampus, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan karena budaya bungkam dan mekanisme pelaporan yang tidak optimal. Pengurus SPK Dian Noeswantari menjelaskan bahwa keberanian korban untuk melaporkan sangat bergantung pada respons institusi.
"Keberanian untuk melaporkan itu sangat tergantung dari apakah mekanisme pelaporan itu langsung ditindaklanjuti atau enggak," kata Dian Noeswantari dalam Webinar Ringkasan Eksekutif Survei Nasional 2025.
Survei ini juga mencatat 109 laporan ujaran mendiskriminasi tampilan fisik dan 91 laporan ucapan bernuansa seksual. Sementara untuk kasus yang lebih berat seperti perkosaan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual, tidak ada laporan yang masuk.
Budaya bungkam yang kuat membuat korban enggan melaporkan. "Artinya, di sini ada budaya bungkam yang kuat. Kalaupun, saya tahu ada beberapa laporan soal perkosaan ini atau terkait juga dengan pelecehan seksual, tapi tidak semua orang mau melaporkan," tutur Dian Noeswantari.
Hasil survei menunjukkan bahwa efektivitas program pencegahan kekerasan seksual masih dipertanyakan. Pasalnya, tingkat efektivitas dalam program pencegahan bukan berarti hilangnya kekerasan seksual yang mengancam korbannya.
"Tidak ada hubungan signifikan secara statistik antara efektivitas program dengan ancaman kekerasan seksual yang mengindikasikan bahwa upaya pencegahan yang ada saat ini belum efektif untuk mengatasi kekerasan seksual," papar Dian Noeswantari.
Di beberapa kampus, relasi kuasa yang timpang membuat predator di lingkungan kampus datang dari para pejabat. "Di beberapa kampus yang kami observasi itu, kalau pelakunya adalah pejabat, maka budaya bungkamnya juga sangat tinggi. Termasuk bagaimana kemudian sirkel pelaku pejabat ini melindungi pelaku," ucap Dian Noeswantari.
Kondisi ini, ditambah dengan normalisasi perilaku tidak pantas di lingkungan kampus, membuat korban enggan melaporkan. Meskipun Permendikbud Ristek No. 55/2024 telah mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas (SATGAS) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, kinerja satgas di masing-masing kampus masih dipertanyakan.
"Perlu ada keterbukaan informasi, intervensi segera, karena kalau nggak segera ini burn-outnya makin lama makin tinggi," tutur Dian Noeswantari.
Menurut survei terhadap 421 responden pekerja kampus, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan karena budaya bungkam dan mekanisme pelaporan yang tidak optimal. Pengurus SPK Dian Noeswantari menjelaskan bahwa keberanian korban untuk melaporkan sangat bergantung pada respons institusi.
"Keberanian untuk melaporkan itu sangat tergantung dari apakah mekanisme pelaporan itu langsung ditindaklanjuti atau enggak," kata Dian Noeswantari dalam Webinar Ringkasan Eksekutif Survei Nasional 2025.
Survei ini juga mencatat 109 laporan ujaran mendiskriminasi tampilan fisik dan 91 laporan ucapan bernuansa seksual. Sementara untuk kasus yang lebih berat seperti perkosaan, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual, tidak ada laporan yang masuk.
Budaya bungkam yang kuat membuat korban enggan melaporkan. "Artinya, di sini ada budaya bungkam yang kuat. Kalaupun, saya tahu ada beberapa laporan soal perkosaan ini atau terkait juga dengan pelecehan seksual, tapi tidak semua orang mau melaporkan," tutur Dian Noeswantari.
Hasil survei menunjukkan bahwa efektivitas program pencegahan kekerasan seksual masih dipertanyakan. Pasalnya, tingkat efektivitas dalam program pencegahan bukan berarti hilangnya kekerasan seksual yang mengancam korbannya.
"Tidak ada hubungan signifikan secara statistik antara efektivitas program dengan ancaman kekerasan seksual yang mengindikasikan bahwa upaya pencegahan yang ada saat ini belum efektif untuk mengatasi kekerasan seksual," papar Dian Noeswantari.
Di beberapa kampus, relasi kuasa yang timpang membuat predator di lingkungan kampus datang dari para pejabat. "Di beberapa kampus yang kami observasi itu, kalau pelakunya adalah pejabat, maka budaya bungkamnya juga sangat tinggi. Termasuk bagaimana kemudian sirkel pelaku pejabat ini melindungi pelaku," ucap Dian Noeswantari.
Kondisi ini, ditambah dengan normalisasi perilaku tidak pantas di lingkungan kampus, membuat korban enggan melaporkan. Meskipun Permendikbud Ristek No. 55/2024 telah mengamanatkan pembentukan Satuan Tugas (SATGAS) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, kinerja satgas di masing-masing kampus masih dipertanyakan.
"Perlu ada keterbukaan informasi, intervensi segera, karena kalau nggak segera ini burn-outnya makin lama makin tinggi," tutur Dian Noeswantari.