Berdasarkan data yang diperoleh dari konferensi pers Realisasi APBN KiTA edisi Oktober 2025, kondisi realisasi penerimaan pajak Indonesia masih jauh dari harapan. Pada akhir September 2025, Kementerian Keuangan melaporkan realisasinya hanya sebesar Rp1.295,28 triliun, atau baru 62,4 persen dari target tahunan. Angka ini bahkan lebih rendah dibandingkan capaian periode sama tahun lalu, yang sebesar Rp1.354,86 triliun.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: dapatkah target rasio pajak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 tercapai? dan lebih penting lagi, bagaimana kemampuan negara membiayai janji-janji besar pemerintah mulai dari Program Makan Bergizi Gratis, Swasembada Pangan, hingga modernisasi pertahanan.
Menurut Pakar Ekonom Achmad Nur Hidayat, penurunan penerimaan pajak yang terus berlanjut tak bisa lagi dianggap sepele. Terlebih, berdasarkan proyeksi Kementerian Keuangan, penerimaan pajak di tahun ini hanya akan selesai di angka Rp2.076,9 triliun. Artinya, akan terdapat shortfall pajak hingga Rp112,4 triliun.
Rasio pajak Indoneisa berada di posisi 8,42 persen pada paruh pertama 2025, merosot dari posisi 10,08 persen pada tahun sebelumnya. Ini tak lepas dari melemahnya penerimaan pajak sebesar 7 persen pada kurun tersebut.
Kondisi ini secara langsung berpengaruh pada target-target yang dipatok pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Salah satunya, rasio penerimaan perpajakan yang dibidik mencapai 10,24 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir 2025—dan meningkat ke kisaran 11,52-15 persen di akhir masa jabatan.
Penurunan penerimaan pajak juga menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana kemampuan negara membiayai janji-janji besar pemerintah? Salah satunya adalah Program Makan Bergizi Gratis yang diperkirakan menelan hingga Rp150 triliun per tahun. Tanpa kenaikan rasio pajak, pembiayaan utang akan menjadi jalan pintas, namun berisiko bagi disiplin fiskal.
Untuk mencapai rasio pajak 12 persen saja, Indonesia harus menambah penerimaan setara 2 persen PDB, atau lebih dari Rp600 triliun—tanpa menaikkan tarif pajak. Artinya, basis pajak harus diperluas secara drastis.
Dalam hal ini, reformasi pajak menjadi sebuah keniscayaan. Namun, reformasi pajak bukan sekadar mengganti sistem dengan teknologi baru, tetapi membangun budaya integritas dan pelayanan pajak yang lebih baik.
"Tax gap" Indonesia—selisih antara potensi dan realisasi pajak—masih sangat lebar. Menurut Pakar Ekonom Achmad Nur Hidayat, peningkatan rasio pajak tak boleh mengorbankan keadilan. Jika beban justru menimpa kelompok menengah dan sektor usaha akar rumput—Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)—eonomi bisa kehilangan daya dorongnya.
"Integrasi data lintas lembaga menjadi kunci. Jika data transaksi, kepemilikan aset, dan catatan kependudukan terhubung, pajak bisa lebih akurat dan adil. Pajak akan berbasis bukti, bukan sekadar pengakuan," saran Achmad.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menilai upaya keras yang kini dilakukan Kementerian Keuangan akan membuat target penerimaan pajak tidak akan jauh di bawah target. Kondisi tersebut juga akan menyebabkan rasio pajak hingga akhir tahun ini tidak akan terkerek tinggi.
"Upaya Kemenkeu untuk mengerek penerimaan pajak sudah terlihat di antaranya berupa kebijakan pengalihan dana dari rekening BI ke rekening bank-bank plat merah agar sektor ekonomi riil lebih bergairan; kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, baik oleh DJP maupun DJBC, melalui joint program, joint audit, dan joint monitoring," katanya.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa optimis rasio pajak Indonesia akan meningkat sebesar 0,5 persen pada 2026. Kenaikan tersebut pun akan berpotensi menambah penerimaan negara hingga lebih dari Rp110 triliun.
Harapnya dengan hidupnya sektor riil di akhir tahun ini, rasionya akan naik otomatis tuh. Mudah-mudahan terjadi, kata Purbaya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: dapatkah target rasio pajak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 tercapai? dan lebih penting lagi, bagaimana kemampuan negara membiayai janji-janji besar pemerintah mulai dari Program Makan Bergizi Gratis, Swasembada Pangan, hingga modernisasi pertahanan.
Menurut Pakar Ekonom Achmad Nur Hidayat, penurunan penerimaan pajak yang terus berlanjut tak bisa lagi dianggap sepele. Terlebih, berdasarkan proyeksi Kementerian Keuangan, penerimaan pajak di tahun ini hanya akan selesai di angka Rp2.076,9 triliun. Artinya, akan terdapat shortfall pajak hingga Rp112,4 triliun.
Rasio pajak Indoneisa berada di posisi 8,42 persen pada paruh pertama 2025, merosot dari posisi 10,08 persen pada tahun sebelumnya. Ini tak lepas dari melemahnya penerimaan pajak sebesar 7 persen pada kurun tersebut.
Kondisi ini secara langsung berpengaruh pada target-target yang dipatok pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Salah satunya, rasio penerimaan perpajakan yang dibidik mencapai 10,24 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir 2025—dan meningkat ke kisaran 11,52-15 persen di akhir masa jabatan.
Penurunan penerimaan pajak juga menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana kemampuan negara membiayai janji-janji besar pemerintah? Salah satunya adalah Program Makan Bergizi Gratis yang diperkirakan menelan hingga Rp150 triliun per tahun. Tanpa kenaikan rasio pajak, pembiayaan utang akan menjadi jalan pintas, namun berisiko bagi disiplin fiskal.
Untuk mencapai rasio pajak 12 persen saja, Indonesia harus menambah penerimaan setara 2 persen PDB, atau lebih dari Rp600 triliun—tanpa menaikkan tarif pajak. Artinya, basis pajak harus diperluas secara drastis.
Dalam hal ini, reformasi pajak menjadi sebuah keniscayaan. Namun, reformasi pajak bukan sekadar mengganti sistem dengan teknologi baru, tetapi membangun budaya integritas dan pelayanan pajak yang lebih baik.
"Tax gap" Indonesia—selisih antara potensi dan realisasi pajak—masih sangat lebar. Menurut Pakar Ekonom Achmad Nur Hidayat, peningkatan rasio pajak tak boleh mengorbankan keadilan. Jika beban justru menimpa kelompok menengah dan sektor usaha akar rumput—Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)—eonomi bisa kehilangan daya dorongnya.
"Integrasi data lintas lembaga menjadi kunci. Jika data transaksi, kepemilikan aset, dan catatan kependudukan terhubung, pajak bisa lebih akurat dan adil. Pajak akan berbasis bukti, bukan sekadar pengakuan," saran Achmad.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, menilai upaya keras yang kini dilakukan Kementerian Keuangan akan membuat target penerimaan pajak tidak akan jauh di bawah target. Kondisi tersebut juga akan menyebabkan rasio pajak hingga akhir tahun ini tidak akan terkerek tinggi.
"Upaya Kemenkeu untuk mengerek penerimaan pajak sudah terlihat di antaranya berupa kebijakan pengalihan dana dari rekening BI ke rekening bank-bank plat merah agar sektor ekonomi riil lebih bergairan; kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, baik oleh DJP maupun DJBC, melalui joint program, joint audit, dan joint monitoring," katanya.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa optimis rasio pajak Indonesia akan meningkat sebesar 0,5 persen pada 2026. Kenaikan tersebut pun akan berpotensi menambah penerimaan negara hingga lebih dari Rp110 triliun.
Harapnya dengan hidupnya sektor riil di akhir tahun ini, rasionya akan naik otomatis tuh. Mudah-mudahan terjadi, kata Purbaya.