Dalam dua hari setelah Israel dan Hamas melakukan gencatan senjata di Jalur Gaza, sebuah kematian jurnalis sipil Saleh Aljafarawi menghasilkan konflik semakin memanas. Pada Minggu (12/10/2025), Saleh dilaporkan tewas saat meliput pertempuran di Sabra, Kota Gaza, dan hilang kontak sejak pagi itu. Baru-baru ini, terdengar berita bahwa Saleh sempat diculik sebelum diberondong peluru.
Tubuh Saleh ditemukan tergolek tak bernyawa di belakang bak truk dengan kondisi masih mengenakan rompi bertuliskan “PRESS” menandakan bahwa ia adalah jurnalis. Jenazahnya kemudian ditandu oleh puluhan massa menuju rumah sakit, sebuah simbol dari penghormatan yang diberikan kepada seorang yang telah memberikan dirinya untuk kebebasan dan keadilan bagi rakyat Palestina.
Sumber-sumber tepercaya menyatakan bahwa Saleh ditembak oleh "milisi bersenjata" yang berafiliasi dengan Israel. Salah satu sumber tersebut adalah Kementerian Dalam Negeri Gaza, yang juga mengkonfirmasi kejadiannya. Namun, identitas pelaku utama hingga saat ini belum terkonfirmasi secara resmi.
Klan Doghmush, afiliator Israel yang sempat terlibat dalam baku tembak dengan Hamas di Sabra, paling dicurigai sebagai pelaku. Pemimpin geng dan kepala Popular Forces, Yasser Jihad Mansour Abu Shahab, juga mencampuradukannya. Dia teridentifikasi sebagai otak di balik penjarahan sistematis konvoi bantuan untuk Gaza dan bertanggung jawab atas insiden sabotase 80 dari 100 truk berisi makanan dan obat-obatan untuk korban genosida Israel.
Saleh, jurnalis sipil dan creator kampanye sosial Palestina dari Gaza, dilaporkan meninggal dalam pertempuran di Sabra. Ia lahir pada 22 November 1997 dan tumbuh sebagai anak yang dipaksa akrab dengan suara dentum bom dan desing peluru. Meski besar dengan trauma psikologis perang, tekadnya mendukung pembebasan Palestina atas genosida Israel telah menyembul sejak remaja.
Saleh menjadi jurnalis warga yang meniti langkah kecil sebagai penegak kebenaran dengan kamera sederhana. Ia berupaya membebaskan kebenaran dari garis depan, menyulam laporan tentang ibu yang meratap di puing rumah, anak yang menatap kosong tanah lapang, dan harapan yang masih tumbuh di tengah reruntuhan.
Pengikut akun Instagramnya naik pesat setelah klip-klip unggahan Saleh meliput secara langsung kehancuran dan pengeboman di rumah sakit, kamp penampungan, dan berbagai daerah konflik lain. Meta dari Instagram menangguhkan akunnya berkali-kali, bahkan mencegat Saleh menggandakan atau membuat akun baru karena unggahan-unggahan Saleh telah melanggar standar komunitas atas konten bernada protes keras.
Akun utama @saleh_aljafarawi dihapus permanen oleh Instagram dan tak ada cara mengembalikannya. Karena itu, Saleh terus membikin akun baru, tetapi seolah--menimbang penembakannya di suratan awal--ia dibunuh berkali-kali.
Pengaruhnya yang tidak kalah penting juga terlihat saat Iduladha 2025. Saleh menjadi salah satu penyumbang terbesar di Gaza, meski kondisi di sekelilingnya tak pernah lepas dari pengepungan.
"Semua adegan dan situasi yang saya lalui selama 467 hari ini tidak akan terhapus dari ingatan saya. Semua situasi yang kami hadapi, kami tidak akan pernah bisa melupakannya," katanya dalam dokumenter TRT World tentang Saleh Aljafarawi.
Saleh adalah donatur utama untuk distribusi bantuan dalam renovasi dan relokasi rumah sakit anak-anak di Gaza. Hanya dalam waktu singkat, penggalangan dana sebanyak 10 juta dolar untuk korban kemanusiaan berhasil terhimpun lewat kampanye media sosialnya.
Liputan Saleh tentang genosida dan kelaparan sistemik di Palestina akibat Israel membuat Instagram melabeli akunnya sebagai “Red Notice”. Cap itu pula yang membuat pihak-pihak Israel menargetkannya, seperti yang telah dialami oleh koresponden Al Jazeera, Anas al-Sharif.
"Sayangnya, penghapusan akun bersifat permanen, dan akun-akun itu tidak akan kembali sama sekali.... Kami menghabiskan sepanjang malam untuk mengatasi masalah ini, tetapi tidak ada akun yang akan kembali," ujarnya lewat story Instagram pada 9 Maret 2025.
Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese mengutuk tindakan Meta. Ia menyebutnya sebagai upaya "membunuh seorang jurnalis dua kali".
"Semoga kenangan tentang 250 jurnalis yang dibunuh di Gaza dihormati di museum genosida yang harus menjadi bagian dari reparasi yang harus dibayar kepada warga Palestina ketika genosida ini akhirnya berakhir," tulisnya di platform X.
Saleh adalah suara paling vokal di lapangan, tokoh media terkemuka yang memilih menetap di tengah bahaya.
Tubuh Saleh ditemukan tergolek tak bernyawa di belakang bak truk dengan kondisi masih mengenakan rompi bertuliskan “PRESS” menandakan bahwa ia adalah jurnalis. Jenazahnya kemudian ditandu oleh puluhan massa menuju rumah sakit, sebuah simbol dari penghormatan yang diberikan kepada seorang yang telah memberikan dirinya untuk kebebasan dan keadilan bagi rakyat Palestina.
Sumber-sumber tepercaya menyatakan bahwa Saleh ditembak oleh "milisi bersenjata" yang berafiliasi dengan Israel. Salah satu sumber tersebut adalah Kementerian Dalam Negeri Gaza, yang juga mengkonfirmasi kejadiannya. Namun, identitas pelaku utama hingga saat ini belum terkonfirmasi secara resmi.
Klan Doghmush, afiliator Israel yang sempat terlibat dalam baku tembak dengan Hamas di Sabra, paling dicurigai sebagai pelaku. Pemimpin geng dan kepala Popular Forces, Yasser Jihad Mansour Abu Shahab, juga mencampuradukannya. Dia teridentifikasi sebagai otak di balik penjarahan sistematis konvoi bantuan untuk Gaza dan bertanggung jawab atas insiden sabotase 80 dari 100 truk berisi makanan dan obat-obatan untuk korban genosida Israel.
Saleh, jurnalis sipil dan creator kampanye sosial Palestina dari Gaza, dilaporkan meninggal dalam pertempuran di Sabra. Ia lahir pada 22 November 1997 dan tumbuh sebagai anak yang dipaksa akrab dengan suara dentum bom dan desing peluru. Meski besar dengan trauma psikologis perang, tekadnya mendukung pembebasan Palestina atas genosida Israel telah menyembul sejak remaja.
Saleh menjadi jurnalis warga yang meniti langkah kecil sebagai penegak kebenaran dengan kamera sederhana. Ia berupaya membebaskan kebenaran dari garis depan, menyulam laporan tentang ibu yang meratap di puing rumah, anak yang menatap kosong tanah lapang, dan harapan yang masih tumbuh di tengah reruntuhan.
Pengikut akun Instagramnya naik pesat setelah klip-klip unggahan Saleh meliput secara langsung kehancuran dan pengeboman di rumah sakit, kamp penampungan, dan berbagai daerah konflik lain. Meta dari Instagram menangguhkan akunnya berkali-kali, bahkan mencegat Saleh menggandakan atau membuat akun baru karena unggahan-unggahan Saleh telah melanggar standar komunitas atas konten bernada protes keras.
Akun utama @saleh_aljafarawi dihapus permanen oleh Instagram dan tak ada cara mengembalikannya. Karena itu, Saleh terus membikin akun baru, tetapi seolah--menimbang penembakannya di suratan awal--ia dibunuh berkali-kali.
Pengaruhnya yang tidak kalah penting juga terlihat saat Iduladha 2025. Saleh menjadi salah satu penyumbang terbesar di Gaza, meski kondisi di sekelilingnya tak pernah lepas dari pengepungan.
"Semua adegan dan situasi yang saya lalui selama 467 hari ini tidak akan terhapus dari ingatan saya. Semua situasi yang kami hadapi, kami tidak akan pernah bisa melupakannya," katanya dalam dokumenter TRT World tentang Saleh Aljafarawi.
Saleh adalah donatur utama untuk distribusi bantuan dalam renovasi dan relokasi rumah sakit anak-anak di Gaza. Hanya dalam waktu singkat, penggalangan dana sebanyak 10 juta dolar untuk korban kemanusiaan berhasil terhimpun lewat kampanye media sosialnya.
Liputan Saleh tentang genosida dan kelaparan sistemik di Palestina akibat Israel membuat Instagram melabeli akunnya sebagai “Red Notice”. Cap itu pula yang membuat pihak-pihak Israel menargetkannya, seperti yang telah dialami oleh koresponden Al Jazeera, Anas al-Sharif.
"Sayangnya, penghapusan akun bersifat permanen, dan akun-akun itu tidak akan kembali sama sekali.... Kami menghabiskan sepanjang malam untuk mengatasi masalah ini, tetapi tidak ada akun yang akan kembali," ujarnya lewat story Instagram pada 9 Maret 2025.
Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese mengutuk tindakan Meta. Ia menyebutnya sebagai upaya "membunuh seorang jurnalis dua kali".
"Semoga kenangan tentang 250 jurnalis yang dibunuh di Gaza dihormati di museum genosida yang harus menjadi bagian dari reparasi yang harus dibayar kepada warga Palestina ketika genosida ini akhirnya berakhir," tulisnya di platform X.
Saleh adalah suara paling vokal di lapangan, tokoh media terkemuka yang memilih menetap di tengah bahaya.