Saldi Isra: Ungkapan 'No Viral No Justice' Tak Berlaku di MK

Dalam diskusi konstitusi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bantul, DI Yogyakarta, Jumat, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra menegaskan bahwa ungkapan "no viral, no justice" tidak berlaku dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.

Saldi mengatakan konsep keadilan yang bergantung pada viralitas mungkin relevan untuk kasus-kasus konkret, namun tidak bisa diterapkan pada kasus abstrak yang menjadi kewenangan MK. Ia mencontohkan sejumlah kasus yang pernah menyita perhatian publik, seperti kasus Nenek Minah serta kasus seorang guru di Sulawesi yang dipecat karena meminta bantuan orang tua murid untuk menggaji guru honorer.

Menurut Saldi, pengujian norma di MK tidak bersandar pada persepsi viral, sementara opini publik memiliki keterkaitan kuat dengan kasus-kasus konkret. Ia juga menekankan pentingnya proses seleksi sebagai pintu masuk terpenting untuk menghasilkan hakim yang independen.

Saldi memberikan contoh Amerika Serikat (AS), di mana justru lebih sarat kepentingan politik dalam pengisian jabatan di Mahkamah Agung (MA). Ia menyinggung kasus pelanggaran etik oleh Hakim Clarence Thomas dan fakta bahwa Mahkamah Agung AS baru mengesahkan court of ethics pada 2023 tanpa diikuti mekanisme penegakan.

Dalam kesimpulan, Saldi mengatakan bahwa "yang harus kita siapkan adalah bagaimana menemukan hakim yang bisa tahan terhadap intervensi itu".
 
gak bakal bisa benar-benar jujur kalau ngomong tentang konstitusi dan undang-undang tanpa ada tekanan viral di media sosial, kan? padahal mahkamah konstitusi pasti harus bebas dari sentimen umum dan fokus pada keadilan yang sebenarnya. tapi aku pikir penting juga buat kita ngawasi agar tidak ada korupsi atau penjajahan dalam proses pilihan hakim, jadi bisa jadi ada campur-santai antara norma konstitusi dan viralitas, tapi gak boleh membuat keadilan sembarangan aja ๐Ÿ˜
 
Aku pikir kalau ini benar-benar penting banget untuk kita memahami apa arti dari diskusi konstitusi di mahkamah. Kalau kita gini, tapi tidak bisa memilih hakim yang benar-benar independen, maka apa gunanya punya undang-undang itu sendiri?

Aku ingat saat aku ada semester di jurusan hukum, kalau kita buat kasus-kasus tentang isu konstitusi di sekolah, siapa yang akan menjadi panutan kita? Mungkin kita bisa belajar dari kasusnya juga, apalagi kalau ada contoh kasus yang bisa memberi inspirasi bagi kita semua. Aku harap kita semua bisa berdiskusi sebenarnya tentang apa yang ingin kita capai, jangan hanya bicara-bicara tapi tidak beraksi ๐Ÿค”
 
Gue kira kayaknya penting banget kalau pemerintah dan parlemen di Indonesia banteras dengan konsep keadilan yang lebih objektif, bukan hanya apa aja viral tapi keadlian sebenarnya. Gue pernah lihat kasus Nenek Minah, dia memang nggak ada logika, tapi kalau kita mau cari kenyataannya dari dalam hati, mungkin gue akan paham bagaimana dia rasakan. Saldi bilang bahwa opini publik sudah terlalu banyak dipengaruhi oleh media sosial, itu pasti salah satu masalah di Indonesia sekarang.
 
Aku pikir kira-kira kebalikan dari apa yang dikatakan Saldi, tapi aku rasa dia benar sekali. Kalau memang no viral, no justice maka itu sangat serius dan tidak bisa dipakai sebagai dasar dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Yang harus kita lakukan adalah membuat sistem yang lebih transparan dan jelas, agar tidak ada lagi kasus seperti Nenek Minah atau guru di Sulawesi yang disita perhatian publik karena meminta bantuan orang tua murid. Aku pikir pentingnya proses seleksi sebagai pintu masuk terpenting untuk menghasilkan hakim yang independen dan bisa tahan terhadap intervensi dari luar, tapi itu tidak berarti harus menunggak keadilan yang sebenarnya ๐Ÿ™…โ€โ™‚๏ธ.
 
Makasih sekali ngebicaranya dengerin kabar terkait MK. Kali ya, aku suka nonton drama lawan-lawanan di televisi. Yang lucu bukan siapa-siapa yang kalah, tapi bagaimana ceritanya berakhir. Aku suka drama dengan plot yang tidak terduga. Tapi, aku rasa ini malah bikin aku bingung. Apa lagi, aku suka makan nasi goreng di warung kecil di kota. Yang bikin perbedaan antara nasi goreng di warung itu dan di restoran hotel, aku nyari-nyari yang mana yang lebih enak.
 
Gue pikir kalau MK harus fokus pada hal-hal yang sebenarnya penting bukan main-main dengan viralitas aja, serius nggak bisa dipilih kan? kayaknya kasus-kasus konkret seperti Nenek Minah dan guru di Sulawesi itu sudah cukup bikin jutaan orang bosen, siapa bilang kita harus lebih "viral" lagi? apa yang penting adalah proses seleksi agar hakim bisa tahan terhadap tekanan dan bisa membuat keputusan yang benar-benar adil ๐Ÿ’ก
 
hebat banget ya kalau MK Indonesia jadi lebih kuat lagi dalam pengujian undang-undang, nggak usah dipengaruhi viralitas sih. makasih Saldi yang cerdas nih ๐Ÿค“. penting juga diajarkan proses seleksi yang bagus agar hakim tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi. kayaknya kalau di AS, MK itu lebih lemah banget dengan banyak kasus pelanggaran etik yang terjadi...
 
ada kalanya rasa ingin tahu tentang apa yang benar dan salah di pihak pengadilan. tapi sepertinya yang penting bukan lagi tentang "no viral, no justice" tapi tentang bagaimana menghasilkan hakim yang independen dan berani menegakkan keadilan. seperti kasus di amerika serikat, kalau saja kita bisa meniru mekanisme pengisian jabatan mahkamah yang lebih transparan, mungkin kita bisa menghindari kasus-kasus yang membuat kita merasa frustrasi ๐Ÿค”๐Ÿ’ก
 
Aku pikir Saldi benar-benar pintar banget ๐Ÿค“. Kalau viralitas bukan hal yang penting di MK, maka apa lagi aja kejadian-kejadian yang bikin publiknya jengkel ๐Ÿ™„. Tapi aku rasa Saldi salah asumsikan bahwa kita harus terlalu fokus pada kasus-kasus konkret. Aku pikir juga perlu kita pertimbangkan bagaimana cara membuat sistem yang lebih adil dan transparan, sehingga tidak ada lagi intervensi politik yang berlebihan ๐Ÿค.

Dan aku paling senang mendengar bahwa ada niat untuk membuat court of ethics di Amerika Serikat ๐Ÿ˜Š. Mungkin kita bisa belajar dari kesalahan mereka agar kita bisa membuat sistem yang lebih baik sendiri ๐ŸŒŸ. Yang jadi pertanyaannya, bagaimana cara kita bisa menemukan hakim yang bisa tahan terhadap intervensi politik itu? ๐Ÿค”. Aku pikir itu ada jawabannya di dalam diri kita sendiri, yaitu dengan belajar untuk bebas berpikir dan tidak takut akan hukuman ๐Ÿ˜Š.
 
Gue pikir, kalau punya jawaban yang jujur, gak ada rasa nyaman dengar. Tetapi, kalau mau bawa perhatian ke kasus seperti ini... Kalau kita ingin keadilan di Indonesia, gak bisa terus ketinggalan dengan apa yang terjadi di luar negeri. Amerika Serikat juga punya masalah sama, tapi setidaknya mereka sudah ada mekanisme untuk menangani hal itu. Di sini, masih banyak permasalahan yang harus diatasi... ๐Ÿค”
 
Makasih bro, saya liat diskusi konstitusi di UMY yang seru banget! Saldi Isra jelas-jelas menjelaskan konsep keadilan dan pengujian norma di MK. Tapi, kalau saya bayangkan, "no viral, no justice" ini serupa dengan cara orang ngobrol di media sosial, kan? Jadi, seseorang bisa viralis karena mempunyai pendapat yang unik, tapi bukannya itu membuat mereka adil? Saya ingat kasus Nenek Minah dan guru di Sulawesi, mereka tidak viralis karena kesalahannya, tapi karena mereka mencari keadilan. Jadi, saya rasa konsep viralitas tidak terlalu relevan di pengujian norma di MK ๐Ÿค”๐Ÿ“š
 
paham banget sih, konsep keadilan di mahkamah konstitusi jadi bukan tentang apa yang viral di media, tapi tentang apa yang benar dan adil. kira-kira seperti kasus Nenek Minah, dia nggak viral tapi dia nyawanya punya. sama-sama penting banget ya proses seleksi untuk memilih hakim yang bisa bebas dari intervensi. Amerika Serikat jadi contoh bagaimana tidaknya jika mahkamah itu terlalu banyak dipengaruhi oleh politik ๐Ÿค”
 
Gak percaya dulu ya, "no viral" gini bisa jadi salah sumber kebatalan kasus di MK... Kalau memang suka viral, kayaknya nggak bakal ada keadilan yang sebenarnya... Saldi itu benar-benar mencontoh dari kasus-kasus nyata seperti Nenek Minah dan guru Sulawesi... Jika kita mau hasil yang adil, jadi penting proses seleksi yang baik, jadi bisa hasil hakim yang independen...
 
Maksudnya apa keadaan di UMY yang membutuhkan penjelasan yang lebih jelas dari Saldi? Kalo viralitas bukanlah kunci untuk menentukan keadilan, kemudian bagaimana caranya nanti orang bisa tahu apa benar dan salah ya? Seharusnya kita sudah memiliki standar yang lebih jernih lagi.
 
gak ngerti apa artinya kalau 'no viral, no justice'. apa bedanya dengan keadilan pada umumnya? saya pikir MK sudah cukup bijak dalam mengambil keputusan yang benar. Saldi sih benar kayaknya, di Amerika AS kaget banget aja ketika mengetahui ada court of ethics baru... mungkin kita bisa belajar dari kesalahan mereka. tapi apa salahnya kalau ada 'viral' yang bisa membuat orang merasa peduli dengan keadilan?
 
Wah kira-kira siapa yang bilang konsep keadilan itu harus bergantung pada viralitas? ๐Ÿ™„ Saldi Isra sih bilang bahwa di MK, ada norma-norma yang jelas dan tidak bisa disentuh-sentuh oleh opini publik. Dan aku setuju dengan dia, kalau kita fokus pada menemukan hakim yang benar-benar independen, itu yang penting. Tapi, aku masih khawatir sih bagaimana jika ada orang-orang yang ingin manipulasi keputusan MK untuk memenuhi kepentingan mereka. Jadi, perlu adanya kontrol yang ketat, ya? ๐Ÿ’ฏ
 
ada ceritanya nih, MK punya proses seleksi yang nggak boleh dipaksakan viralitas loh, tapi apa kalau di Amerika Serikat sih, udah gini aja, hakim bisa dipilih karena alasan politik... aku rasa ini penting buat kita Indonesia, jadi nggak ada kasus seperti yang terjadi di AS, di mana ada intervensi dari pihak tertentu yang mempengaruhi hasil pengisian jabatan. tapi apa lagi, Saldi bilang bahwa hakim harus bisa tahan terhadap intervensi itu... aku setuju dengan dia, kita butuh hakim yang independen dan bebas dari interferensi di luar.
 
aku kira kalau mahkamah konstitusi Indonesia punya kebebasan untuk memilih siapa yang akan menjadi hakimnya, padahal di negara lain gak ada perbedaan apa-apa. tapi sepertinya masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki di dalam pengisian jabatan mahkamah konstitusi kita, misalnya seperti kasus seorang hakim yang punya hubungan dengan pejabat pemerintah atau kasus pelanggaran etik yang sering terjadi di Amerika Serikat. tapi aku pikir jadi masalahnya bukan siapa yang menjadi hakim, tapi bagaimana kita bisa membuat suatu sistem yang adil dan transparan.
 
kembali
Top