Ruang sipil di Indonesia kian semakin sempit, membuat banyak mahasiswa meminta agar ruang sipil tetap terbuka bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Menurut peneliti bidang demokrasi dan kebebasan, Neildeva Despendya, dari Yayasan Partisipasi Muda (YPM), ruang sipil merupakan elemen krusial dalam kehidupan demokratis. Ruang publik harus menjamin kebebasan berpendapat.
"Ruang sipil yang sehat memungkinkan masyarakat mengekspresikan ide, mengkritik kebijakan, dan berpartisipasi dalam politik," kata Neil, seperti dikutip dari siaran pers. Ia juga menyoroti laporan CIVICUS Monitor yang menempatkan Indonesia dengan skor 48 dari 100 dalam indeks kebebasan sipil dunia.
Penelitian yang sama menunjukkan bahwa 73,9 persen anak muda merasa takut menyampaikan pendapat di ruang publik, dan 42 persen menilai pemerintah belum cukup melindungi hak-hak sipil warga negara. Faktor sosial-ekonomi dan pendidikan sangat memengaruhi tingkat keberanian mereka.
"Ketika masyarakat tidak merasa aman untuk berbicara, demokrasi kehilangan daya hidupnya," ujarnya. Peneliti lain, Muhammad Fajar, menyinggung fenomena democratic burnout atau kelelahan kolektif yang dialami banyak anak muda akibat represi dan ketimpangan sosial.
Banyak anak muda merasa perjuangannya tak membawa perubahan nyata. Sementara itu, Rahardhika Utama menambahkan bahwa hambatan terbesar bagi generasi muda dalam berpartisipasi bukan hanya keterbatasan ruang, melainkan juga risiko hukum, ancaman keamanan digital, serta lemahnya lembaga pelindung sipil.
Indonesia tengah mengalami regresi demokrasi akibat kebijakan pembatasan seperti UU ITE dan KUHP baru. "Kita demokratis secara prosedural, tapi belum substantif. Tanpa perlawanan anak muda, demokrasi hanya akan tinggal nama," tegas Muhammad Imam, dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia.
"Ruang sipil yang sehat memungkinkan masyarakat mengekspresikan ide, mengkritik kebijakan, dan berpartisipasi dalam politik," kata Neil, seperti dikutip dari siaran pers. Ia juga menyoroti laporan CIVICUS Monitor yang menempatkan Indonesia dengan skor 48 dari 100 dalam indeks kebebasan sipil dunia.
Penelitian yang sama menunjukkan bahwa 73,9 persen anak muda merasa takut menyampaikan pendapat di ruang publik, dan 42 persen menilai pemerintah belum cukup melindungi hak-hak sipil warga negara. Faktor sosial-ekonomi dan pendidikan sangat memengaruhi tingkat keberanian mereka.
"Ketika masyarakat tidak merasa aman untuk berbicara, demokrasi kehilangan daya hidupnya," ujarnya. Peneliti lain, Muhammad Fajar, menyinggung fenomena democratic burnout atau kelelahan kolektif yang dialami banyak anak muda akibat represi dan ketimpangan sosial.
Banyak anak muda merasa perjuangannya tak membawa perubahan nyata. Sementara itu, Rahardhika Utama menambahkan bahwa hambatan terbesar bagi generasi muda dalam berpartisipasi bukan hanya keterbatasan ruang, melainkan juga risiko hukum, ancaman keamanan digital, serta lemahnya lembaga pelindung sipil.
Indonesia tengah mengalami regresi demokrasi akibat kebijakan pembatasan seperti UU ITE dan KUHP baru. "Kita demokratis secara prosedural, tapi belum substantif. Tanpa perlawanan anak muda, demokrasi hanya akan tinggal nama," tegas Muhammad Imam, dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia.