Sejumlah tokoh menolak usulan penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Pakar Hukum Tata Negara (HTN) dari Sekolah Tinggi Hukum Jendera, Bivitri Susanti mengungkapkan Soeharto tidak bisa menjadi pahlawan nasional sebab terhalang oleh aturan konstitusi yang tertuang pada Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Pada Pasal 4 TAP MPR disebutkan "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia."
Meskipun pada 2024, saat MPR dipimpin oleh Bambang Soesatyo nama Soeharto dihapuskan dalam TAP MPR. Namun, Bivitri tetap berkeyakinan amar pada TAP MPR tersebut tetap menghalangi Soeharto menjadi pahlawan.
"Dalam perbincangan kita tentang TAP MPR ini, saya pikir ada satu pokok pertanyaan yang harus kita pertimbangkan yaitu apakah di masa depan kita akan mengulang kesalahan-kesalahan yang telah terjadi sebelumnya? Apakah kita akan menutup mata dan tidak mengetahui bahwa peristiwa 1998 ini adalah salah satu pelajaran berharga dari pembatasan demokrasi pada masa itu?" kata Bivitri.
Bivitri khawatir penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional menjadi langkah awal upaya kembalinya UUD 1945. Dia menjelaskan dengan kembali pada UUD 1945, upaya reformasi yang dilakukan pada 1998 menjadi sia-sia termasuk sejumlah lembaga akan kehilangan maruahnya seperti Mahkamah Konstitusi hingga Komisi Yudisial.
"Bayangkan kalau legitimasi perubahan UUD 1945 itu menjadi hilang karena Soeharto justru dianggap pahlawan, maka ini adalah jalan yang sangat mulus tanpa kerikil apa pun untuk balik kepada UUD 1945 naskah awal," jelasnya.
Selain Bivitri, Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Romo Magnis Suseno menyebut alasan penolakan penetapan Soeharto untuk menjadi pahlawan nasional karena perbuatan korupsinya selama memimpin Indonesia. Dia mengatakan Soeharto melakukan korupsi secara besar-besaran demi memperkaya keluarga dan kroninya.
"Salah satu alasan mengapa Soeharto tidak boleh menjadi pahlawan adalah bahwa dia melakukan korupsi besar-besaran. Dia memperkaya keluarga, dia memperkaya orang-orang dekatnya, memperkaya dirinya sendiri. Bukan pahlawan," kata Romo Magnis di Kantor YLBHI.
Romo Magnis juga menyebutkan kejahatan genosida yang dilakukannya selama 32 tahun memimpin Indonesia. Dia mengatakan Soeharto bertanggung jawab atas satu dari lima genosida terbesar umat manusia di abad ke 20 yaitu pembunuhan sesudah tahun 65 dan 66, antara 800 ribu dan menurut Sarwo Edhie yang sangat aktif, 3 juta orang.
"Dari seorang pahlawan nasional diharapkan bahwa ia tanpa pamrih memajukan bangsa, tidak mau beruntung sendiri," ujarnya.
Pada Pasal 4 TAP MPR disebutkan "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia."
Meskipun pada 2024, saat MPR dipimpin oleh Bambang Soesatyo nama Soeharto dihapuskan dalam TAP MPR. Namun, Bivitri tetap berkeyakinan amar pada TAP MPR tersebut tetap menghalangi Soeharto menjadi pahlawan.
"Dalam perbincangan kita tentang TAP MPR ini, saya pikir ada satu pokok pertanyaan yang harus kita pertimbangkan yaitu apakah di masa depan kita akan mengulang kesalahan-kesalahan yang telah terjadi sebelumnya? Apakah kita akan menutup mata dan tidak mengetahui bahwa peristiwa 1998 ini adalah salah satu pelajaran berharga dari pembatasan demokrasi pada masa itu?" kata Bivitri.
Bivitri khawatir penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional menjadi langkah awal upaya kembalinya UUD 1945. Dia menjelaskan dengan kembali pada UUD 1945, upaya reformasi yang dilakukan pada 1998 menjadi sia-sia termasuk sejumlah lembaga akan kehilangan maruahnya seperti Mahkamah Konstitusi hingga Komisi Yudisial.
"Bayangkan kalau legitimasi perubahan UUD 1945 itu menjadi hilang karena Soeharto justru dianggap pahlawan, maka ini adalah jalan yang sangat mulus tanpa kerikil apa pun untuk balik kepada UUD 1945 naskah awal," jelasnya.
Selain Bivitri, Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Romo Magnis Suseno menyebut alasan penolakan penetapan Soeharto untuk menjadi pahlawan nasional karena perbuatan korupsinya selama memimpin Indonesia. Dia mengatakan Soeharto melakukan korupsi secara besar-besaran demi memperkaya keluarga dan kroninya.
"Salah satu alasan mengapa Soeharto tidak boleh menjadi pahlawan adalah bahwa dia melakukan korupsi besar-besaran. Dia memperkaya keluarga, dia memperkaya orang-orang dekatnya, memperkaya dirinya sendiri. Bukan pahlawan," kata Romo Magnis di Kantor YLBHI.
Romo Magnis juga menyebutkan kejahatan genosida yang dilakukannya selama 32 tahun memimpin Indonesia. Dia mengatakan Soeharto bertanggung jawab atas satu dari lima genosida terbesar umat manusia di abad ke 20 yaitu pembunuhan sesudah tahun 65 dan 66, antara 800 ribu dan menurut Sarwo Edhie yang sangat aktif, 3 juta orang.
"Dari seorang pahlawan nasional diharapkan bahwa ia tanpa pamrih memajukan bangsa, tidak mau beruntung sendiri," ujarnya.