Dalam sejarah peraih Nobel, perempuan-perempuan ini berani mengungkapkan penemuan-penemuan yang mengubah dunia. Meskipun jumlahnya masih terbatas dan jarang diakui, mereka telah mencapai kemenangan dengan penuh keberanian dan dedikasi dalam bidang sains.
Tahun 2025, Mary E. Brunkow dari Institute for Systems Biology di Seattle, Amerika Serikat, memenangkan Nobel Fisiologi atau Kedokteran bersama Fred Ramsdell dan Shimon Sakaguchi atas penemuan terobosan tentang toleransi imun perifer yang mencegah sistem kekebalan tubuh menyerang tubuh itu sendiri. Penelitian mereka berkaitan dengan sel T, salah satu sel darah putih yang berfungsi untuk melawan virus dan bakteri.
Bersama Sakaguchi, Brunkow berhasil mengidentifikasi gen FOXP3 sebagai penyebab penyakit autoimun IPEX pada manusia dan kondisi sakit pada tikus scurfy. Penelitian ini membangun pondasi baru untuk studi tentang sistem kekebalan tubuh "toleransi imun perifer" dan diharapkan dapat membantu menangani penyakit-penyakit autoimun dan kanker, serta mencegah komplikasi serius setelah transplantasi organ.
Anne L'Huillier dari Lund University, Swedia, memenangkan Nobel Fisika 2023 bersama Pierre Agostini dan Ferenc Krausz atas metode eksperimental yang menghasilkan denyut cahaya berdurasi attodetik untuk mempelajari dinamika elektron dalam materi. L'Huillier adalah profesor fisika atom yang menggeluti fisika attodetik, pendekatan yang digunakan untuk memeriksa bagaimana suatu materi menyerap atau memancarkan cahaya.
Ilmu ini spesifik mempelajari pergerakan elektron dalam materi pada skala waktu sangat singkat atau attodetik. Penelitian L'Huillier dan para kolaboratornya memanfaatkan teknologi laser untuk membuat denyut cahaya yang super pendek, yang memungkinkan mereka untuk mengintip dunia mikrokosmos dan meneliti pergerakan elektron di dalam atom dan molekul.
Carolyn Ruth Bertozzi dari Stanford University, AS, memenangkan Nobel Prize Kimia 2022 bersama Morten Meldal dan K. Barry Sharpless atas pengembangan kimia klik (click chemistry) dan kimia bioorthogonal. Reaksi ini mirip dengan teknik menyusun blok-blok permainan Lego, di mana dua molekul harus bekerja sama untuk membentuk molekul baru.
Bertozzi kemudian mencoba memodifikasi reaksi "partner klik" yang telah dikembangkan oleh Sharpless dan Meldal. Upaya Bertozzi membuahkan hasil, dengan terwujudnya kimia bioorthogonal yang bebas dari tembaga beracun. Proses ini dapat dijalankan dalam waktu yang singkat dan lebih efisien.
Penelitian mereka semua dipandang telah membuka pintu lebar-lebar bagi studi molekul di dalam sel hidup. Upaya mereka diharapkan bisa menjadi bentuk inovasi dalam pengobatan kanker sekaligus memperluas ranah studi tentang karbohidrat kompleks atau glikosains.
Meskipun jumlahnya masih terbatas, perempuan-perempuan ini telah menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan dan keberanian untuk mencapai kesuksesan dalam bidang sains.
Tahun 2025, Mary E. Brunkow dari Institute for Systems Biology di Seattle, Amerika Serikat, memenangkan Nobel Fisiologi atau Kedokteran bersama Fred Ramsdell dan Shimon Sakaguchi atas penemuan terobosan tentang toleransi imun perifer yang mencegah sistem kekebalan tubuh menyerang tubuh itu sendiri. Penelitian mereka berkaitan dengan sel T, salah satu sel darah putih yang berfungsi untuk melawan virus dan bakteri.
Bersama Sakaguchi, Brunkow berhasil mengidentifikasi gen FOXP3 sebagai penyebab penyakit autoimun IPEX pada manusia dan kondisi sakit pada tikus scurfy. Penelitian ini membangun pondasi baru untuk studi tentang sistem kekebalan tubuh "toleransi imun perifer" dan diharapkan dapat membantu menangani penyakit-penyakit autoimun dan kanker, serta mencegah komplikasi serius setelah transplantasi organ.
Anne L'Huillier dari Lund University, Swedia, memenangkan Nobel Fisika 2023 bersama Pierre Agostini dan Ferenc Krausz atas metode eksperimental yang menghasilkan denyut cahaya berdurasi attodetik untuk mempelajari dinamika elektron dalam materi. L'Huillier adalah profesor fisika atom yang menggeluti fisika attodetik, pendekatan yang digunakan untuk memeriksa bagaimana suatu materi menyerap atau memancarkan cahaya.
Ilmu ini spesifik mempelajari pergerakan elektron dalam materi pada skala waktu sangat singkat atau attodetik. Penelitian L'Huillier dan para kolaboratornya memanfaatkan teknologi laser untuk membuat denyut cahaya yang super pendek, yang memungkinkan mereka untuk mengintip dunia mikrokosmos dan meneliti pergerakan elektron di dalam atom dan molekul.
Carolyn Ruth Bertozzi dari Stanford University, AS, memenangkan Nobel Prize Kimia 2022 bersama Morten Meldal dan K. Barry Sharpless atas pengembangan kimia klik (click chemistry) dan kimia bioorthogonal. Reaksi ini mirip dengan teknik menyusun blok-blok permainan Lego, di mana dua molekul harus bekerja sama untuk membentuk molekul baru.
Bertozzi kemudian mencoba memodifikasi reaksi "partner klik" yang telah dikembangkan oleh Sharpless dan Meldal. Upaya Bertozzi membuahkan hasil, dengan terwujudnya kimia bioorthogonal yang bebas dari tembaga beracun. Proses ini dapat dijalankan dalam waktu yang singkat dan lebih efisien.
Penelitian mereka semua dipandang telah membuka pintu lebar-lebar bagi studi molekul di dalam sel hidup. Upaya mereka diharapkan bisa menjadi bentuk inovasi dalam pengobatan kanker sekaligus memperluas ranah studi tentang karbohidrat kompleks atau glikosains.
Meskipun jumlahnya masih terbatas, perempuan-perempuan ini telah menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan dan keberanian untuk mencapai kesuksesan dalam bidang sains.