Presiden Soekarno, yakni presiden pertama Indonesia, sudah mempertimbangkan untuk melakukan redenominasi uang nasional sejak 60 tahun yang lalu. Pada saat itu, pemerintah merasa perlu mengubah nilai nominal uang tanpa mengubah daya beli uang, agar sistem pembayaran menjadi lebih stabil.
Kebijakan ini tidak terlepas dari situasi krisis ekonomi di Indonesia pada masa itu. Inflasi meroket hingga 635%, pertumbuhan ekonomi macet, dan harga kebutuhan pokok tak terkendali. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk melakukan redenominasi uang dengan mencampurkan nilai nominal dengan daya beli uang.
Pada 13 Desember 1965, Presiden Soekarno menandatangani Penetapan Presiden RI No. 27 Tahun 1965 tentang Pengeluaran Uang Baru dan Penarikan Uang Lama dari Peredaran. Kebijakan ini bertujuan untuk menyederhanakan nilai nominal tanpa mengubah daya beli uang, seperti pecahan Rp1.000 menjadi Rp1.
Namun, hasilnya tidak sesuai harapan. Masyarakat bingung dan harga barang menjadi simpang siur. Belum lagi, Indonesia yang luas membuat banyak daerah terlambat menyesuaikan diri. Selain itu, beredarnya dua jenis uang secara bersamaan, uang lama dan baru, membuat ekonomi makin tidak stabil.
Kekacauan itu diperparah oleh situasi politik pasca peristiwa G30S 1965, yang menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Itu semua membuat gelombang demonstrasi meluas pada awal 1966 dan akhirnya mengguncang posisi Soekarno di kursi kekuasaan.
Sampai saat ini, redenominasi uang masih menjadi topik perdebatan di kalangan para ahli ekonomi dan politisi. Apakah redenominasi uang dapat meningkatkan stabilitas ekonomi dan meningkatkan daya beli uang? Ataukah itu hanya sebuah langkah siasat pemerintah untuk menyesuaikan persediaan uang dengan kebutuhan pemerintah?
Sekarang, apakah pemerintah Indonesia memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan kembali redenominasi uang dan membuat keputusan yang lebih bijak? Apakah kita dapat belajar dari kesalahan masa lalu dan membuat perubahan yang lebih baik bagi ekonomi dan masyarakat kita?
Kebijakan ini tidak terlepas dari situasi krisis ekonomi di Indonesia pada masa itu. Inflasi meroket hingga 635%, pertumbuhan ekonomi macet, dan harga kebutuhan pokok tak terkendali. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk melakukan redenominasi uang dengan mencampurkan nilai nominal dengan daya beli uang.
Pada 13 Desember 1965, Presiden Soekarno menandatangani Penetapan Presiden RI No. 27 Tahun 1965 tentang Pengeluaran Uang Baru dan Penarikan Uang Lama dari Peredaran. Kebijakan ini bertujuan untuk menyederhanakan nilai nominal tanpa mengubah daya beli uang, seperti pecahan Rp1.000 menjadi Rp1.
Namun, hasilnya tidak sesuai harapan. Masyarakat bingung dan harga barang menjadi simpang siur. Belum lagi, Indonesia yang luas membuat banyak daerah terlambat menyesuaikan diri. Selain itu, beredarnya dua jenis uang secara bersamaan, uang lama dan baru, membuat ekonomi makin tidak stabil.
Kekacauan itu diperparah oleh situasi politik pasca peristiwa G30S 1965, yang menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Itu semua membuat gelombang demonstrasi meluas pada awal 1966 dan akhirnya mengguncang posisi Soekarno di kursi kekuasaan.
Sampai saat ini, redenominasi uang masih menjadi topik perdebatan di kalangan para ahli ekonomi dan politisi. Apakah redenominasi uang dapat meningkatkan stabilitas ekonomi dan meningkatkan daya beli uang? Ataukah itu hanya sebuah langkah siasat pemerintah untuk menyesuaikan persediaan uang dengan kebutuhan pemerintah?
Sekarang, apakah pemerintah Indonesia memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan kembali redenominasi uang dan membuat keputusan yang lebih bijak? Apakah kita dapat belajar dari kesalahan masa lalu dan membuat perubahan yang lebih baik bagi ekonomi dan masyarakat kita?