Kebun Anggur Duyu Bangkit, Kampung Reforma Agraria yang Membuktikan Kemandirian Warga
Di Kelurahan Duyu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, terdapat sebuah kampung yang telah berhasil melibatkan masyarakat dalam mengelola lahan bekas tempat pembuangan sampah menjadi kebun anggur penggerak ekonomi. Kampung ini adalah contoh nyata dari program Reforma Agraria yang tidak hanya menyertipikati tanah, namun juga memberdayakan masyarakat hingga tercipta kemandirian ekonomi.
Kebun Anggur Duyu Bangkit ini berdiri di atas tanah yang dipinjamkan oleh mertua salah satu petani. Keterbatasan modal membuat enam anggota pertama harus menggadaikan BPKB motor untuk membeli bibit dan perlengkapan dasar. Namun, dengan bantuan Kementerian ATR/BPN, kelompok ini berhasil mendapatkan akses infrastruktur, penyuluhan pertanian, bantuan alat, hingga dukungan pemasaran.
Perjalanan keberhasilan kelompok ini tidaklah mudah. Sebelum BPN datang, panen pertama mereka selalu gagal. Hujan turun, anggur busuk semua. Namun, setelah dibantu BPN, mereka bisa memasang plastik UV untuk melindungi tanaman. Sekarang, panen bisa dua hingga tiga kali setahun.
Hasilnya sangat memuaskan. Setiap petak lahan mampu menghasilkan hingga Rp90 juta setiap panen, angka yang dulu hanya mimpi bagi Saifuddin, Ketua Kelompok Tani Duyu Bangkit. Di tahun 2025, terdapat 13 titik kebun anggur yang dikembangkan Kelompok Tani Duyu Bangkit dengan 13 varietas berbeda.
Kebun Anggur Duyu Bangkit telah resmi menjadi Kampung Reforma Agraria binaan Kantor Pertanahan Kota Palu. Wisatawan dari berbagai daerah datang untuk memetik anggur langsung dari kebun, sementara produk mereka dikirim hingga luar kota.
Dengan kemajuan ini, kelompok ini dapat mengajak orang lain bekerja di kebun sendiri. Itu baru namanya reforma agraria. Saifuddin sangat mengapresiasi seluruh pihak yang telah mendampingi kelompoknya hingga bisa menghasilkan manfaat baginya dan masyarakat sekitar Duyu.
"Terima kasih banyak untuk BPN Kota Palu dan BPN Sulawesi Tengah. Dari yang dulu tidak tahu, sekarang kami jadi paham. Dari yang dulunya kekurangan, kini kami bisa berdiri sendiri. Reforma agraria bukan cuma soal tanah, tapi soal bagaimana tanah bisa membuat kami mandiri," tutup Saifuddin.
Di Kelurahan Duyu, Kota Palu, Sulawesi Tengah, terdapat sebuah kampung yang telah berhasil melibatkan masyarakat dalam mengelola lahan bekas tempat pembuangan sampah menjadi kebun anggur penggerak ekonomi. Kampung ini adalah contoh nyata dari program Reforma Agraria yang tidak hanya menyertipikati tanah, namun juga memberdayakan masyarakat hingga tercipta kemandirian ekonomi.
Kebun Anggur Duyu Bangkit ini berdiri di atas tanah yang dipinjamkan oleh mertua salah satu petani. Keterbatasan modal membuat enam anggota pertama harus menggadaikan BPKB motor untuk membeli bibit dan perlengkapan dasar. Namun, dengan bantuan Kementerian ATR/BPN, kelompok ini berhasil mendapatkan akses infrastruktur, penyuluhan pertanian, bantuan alat, hingga dukungan pemasaran.
Perjalanan keberhasilan kelompok ini tidaklah mudah. Sebelum BPN datang, panen pertama mereka selalu gagal. Hujan turun, anggur busuk semua. Namun, setelah dibantu BPN, mereka bisa memasang plastik UV untuk melindungi tanaman. Sekarang, panen bisa dua hingga tiga kali setahun.
Hasilnya sangat memuaskan. Setiap petak lahan mampu menghasilkan hingga Rp90 juta setiap panen, angka yang dulu hanya mimpi bagi Saifuddin, Ketua Kelompok Tani Duyu Bangkit. Di tahun 2025, terdapat 13 titik kebun anggur yang dikembangkan Kelompok Tani Duyu Bangkit dengan 13 varietas berbeda.
Kebun Anggur Duyu Bangkit telah resmi menjadi Kampung Reforma Agraria binaan Kantor Pertanahan Kota Palu. Wisatawan dari berbagai daerah datang untuk memetik anggur langsung dari kebun, sementara produk mereka dikirim hingga luar kota.
Dengan kemajuan ini, kelompok ini dapat mengajak orang lain bekerja di kebun sendiri. Itu baru namanya reforma agraria. Saifuddin sangat mengapresiasi seluruh pihak yang telah mendampingi kelompoknya hingga bisa menghasilkan manfaat baginya dan masyarakat sekitar Duyu.
"Terima kasih banyak untuk BPN Kota Palu dan BPN Sulawesi Tengah. Dari yang dulu tidak tahu, sekarang kami jadi paham. Dari yang dulunya kekurangan, kini kami bisa berdiri sendiri. Reforma agraria bukan cuma soal tanah, tapi soal bagaimana tanah bisa membuat kami mandiri," tutup Saifuddin.