Presiden Prabowo dianggap sebagai pemimpin global karena telah mengimplementasikan prinsip politik bebas aktif dalam kebijakan internasionalnya, terutama dalam menghadapi tatanan dunia yang semakin tidak pasti. Dengan demikian, Indonesia berhasil memperoleh kesempatan untuk menjadi anggota G7 dan BRICS+, meski kedua belah pihak sedang berseteru.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Maksum, menyatakan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari politik, yang di dalamnya ada diplomasi. Hukum adalah produk politik yang harus selalu dinilai dari perspektif tersebut.
Pakar intelijen Ngasiman Djoyonegoro menjelaskan bahwa setiap negara harus mengukur kekuatannya dengan instrument of power, yaitu diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi (DIME). Buku yang ditulis oleh Ngasiman ini memotret secara teliti fenomena tersebut.
Buku itu dikenal sebagai strategi epistemik, di mana Indonesia harus makin tegas dalam menyampaikan prinsip politik bebas aktif. Menurut Sekretaris Umum ISNU, Wardi Taufiq, di tengah matinya kepakaran, sulit membedakan antara pengetahuan dan opini, antara data dan prasangka.
Lingkungan strategis yang semakin tidak pasti membuat para ilmuwan dunia merevisi teorinya. Abdul Wahid Maktub, pakar bidang diplomasi UIN President University, menyatakan bahwa tatanan dunia telah berubah, realitas telah berubah, dan tatanan dunia yang lama sudah tidak relevan lagi untuk diperbincangkan.
Kerangka inilah yang dapat digunakan untuk menganalisis buku ini. Menurutnya, negara-negara dunia banyak melakukan kesalahan kalkulasi geopolitik. Isi buku itu juga melihat Indonesia tergabung dalam BRICS+ dan G7 meski kedua belah pihak sedang berseteru.
Simon, sahabat karib Ngasiman, menambahkan bahwa Presiden Prabowo berhasil memainkan peran signifikan dan membuat nyata prinsip politik bebas aktif yang dihasilkan Indonesia. Menurutnya, prinsip tersebut adalah strategi epistemik yang harus diterapkan dalam kebijakan nasional.
Pakar lainnya Atep Abdurofiq menjelaskan bahwa kapasitas Presiden Prabowo dalam memandu pertahanan nasional dari sisi geoekonomi sangatlah penting. Indonesia sedang "on the track" dengan memanfaatkan daya tawar critical mineral dan hilirisasi.
Anggota Komisi XI DPR RI Hasanuddin Wahid lebih mengkritisi penyeimbangan antara hard power, soft power, dan smart power. Menurutnya, kita harus kasih kepercayaan penuh kepada institusi militer kita.
Secara soft power, diplomasi politik Presiden Prabowo memiliki pengalaman panjang dan tahu betul bagaimana memainkan peran di kancah global. Pola interaksi yang dimainkan Presiden adalah pengalaman dijajah.
Lebih lanjut, Hasan menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan harus diimbangi dengan pengembangan smart power. "Saat ini kita belum melakukannya secara terukur dan sistematis. Tanpa tiga hal ini, kita sulit untuk menjadi negara disegani".
Pun dari sisi informasi, perlahan tapi pasti, Indonesia telah memimpin percepatan kualitas dunia digital dalam program-program transformasi digital. "Tak hanya terkait dengan aplikasi, tetapi juga penguatan SDM dan infrastruktur. Termasuk pengembangan kelembagaan pada TNI, Polri dan intelijen terkait perkembangan dunia siber," tambah Simon.
Sementara itu, Staf Ahli Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Bidang Keamanan Laut Laksamana Muda Dwi Sulaksono mengatakan bahwa militer selalu berupaya untuk melindungi bangsa dan negara dengan segala kekuatan yang ada sehingga perlu diperkuat.
Ia mengungkapkan bahwa Indonesia telah mempersiapkan pembelian dan pembaruan persenjataan secara konsisten, terutama kapal laut dan membangun integrasi sistem persenjataan TNI.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Muhammad Maksum, menyatakan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari politik, yang di dalamnya ada diplomasi. Hukum adalah produk politik yang harus selalu dinilai dari perspektif tersebut.
Pakar intelijen Ngasiman Djoyonegoro menjelaskan bahwa setiap negara harus mengukur kekuatannya dengan instrument of power, yaitu diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi (DIME). Buku yang ditulis oleh Ngasiman ini memotret secara teliti fenomena tersebut.
Buku itu dikenal sebagai strategi epistemik, di mana Indonesia harus makin tegas dalam menyampaikan prinsip politik bebas aktif. Menurut Sekretaris Umum ISNU, Wardi Taufiq, di tengah matinya kepakaran, sulit membedakan antara pengetahuan dan opini, antara data dan prasangka.
Lingkungan strategis yang semakin tidak pasti membuat para ilmuwan dunia merevisi teorinya. Abdul Wahid Maktub, pakar bidang diplomasi UIN President University, menyatakan bahwa tatanan dunia telah berubah, realitas telah berubah, dan tatanan dunia yang lama sudah tidak relevan lagi untuk diperbincangkan.
Kerangka inilah yang dapat digunakan untuk menganalisis buku ini. Menurutnya, negara-negara dunia banyak melakukan kesalahan kalkulasi geopolitik. Isi buku itu juga melihat Indonesia tergabung dalam BRICS+ dan G7 meski kedua belah pihak sedang berseteru.
Simon, sahabat karib Ngasiman, menambahkan bahwa Presiden Prabowo berhasil memainkan peran signifikan dan membuat nyata prinsip politik bebas aktif yang dihasilkan Indonesia. Menurutnya, prinsip tersebut adalah strategi epistemik yang harus diterapkan dalam kebijakan nasional.
Pakar lainnya Atep Abdurofiq menjelaskan bahwa kapasitas Presiden Prabowo dalam memandu pertahanan nasional dari sisi geoekonomi sangatlah penting. Indonesia sedang "on the track" dengan memanfaatkan daya tawar critical mineral dan hilirisasi.
Anggota Komisi XI DPR RI Hasanuddin Wahid lebih mengkritisi penyeimbangan antara hard power, soft power, dan smart power. Menurutnya, kita harus kasih kepercayaan penuh kepada institusi militer kita.
Secara soft power, diplomasi politik Presiden Prabowo memiliki pengalaman panjang dan tahu betul bagaimana memainkan peran di kancah global. Pola interaksi yang dimainkan Presiden adalah pengalaman dijajah.
Lebih lanjut, Hasan menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan harus diimbangi dengan pengembangan smart power. "Saat ini kita belum melakukannya secara terukur dan sistematis. Tanpa tiga hal ini, kita sulit untuk menjadi negara disegani".
Pun dari sisi informasi, perlahan tapi pasti, Indonesia telah memimpin percepatan kualitas dunia digital dalam program-program transformasi digital. "Tak hanya terkait dengan aplikasi, tetapi juga penguatan SDM dan infrastruktur. Termasuk pengembangan kelembagaan pada TNI, Polri dan intelijen terkait perkembangan dunia siber," tambah Simon.
Sementara itu, Staf Ahli Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Bidang Keamanan Laut Laksamana Muda Dwi Sulaksono mengatakan bahwa militer selalu berupaya untuk melindungi bangsa dan negara dengan segala kekuatan yang ada sehingga perlu diperkuat.
Ia mengungkapkan bahwa Indonesia telah mempersiapkan pembelian dan pembaruan persenjataan secara konsisten, terutama kapal laut dan membangun integrasi sistem persenjataan TNI.