Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih menjadi masalah serius dalam pemenuhan hak-hak perempuan. Menurut survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2024, 1 dari 4 perempuan pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, serta 1 dari 5 perempuan Indonesia mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sementara itu, Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2024 menunjukkan bahwa tingkat kasus kekerasan berbasis gender online (KGBO) melonjak 40,8% dengan berbagai bentuknya.
Kekerasan terhadap perempuan ini tidak hanya merugikan korban secara fisik, tetapi juga psikologis dan sosial. Korban kekerasan akan mengalami trauma yang berkepanjangan, stres, depresi, atau rasa ingin bunuh diri. Kekerasan terhadap perempuan juga mempengaruhi kehidupan dan aktivitas sehari-hari korban.
Pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Meski telah disahkan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No 23 Tahun 2004, angka kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi, termasuk kasus femisida dan filisida. Fenomena ini menunjukkan bahwa UU ini masih jauh dari harapan untuk mengurangi dan mencegah kekerasan dalam rumah tangga.
Kuatnya norma sosial budaya dalam masyarakat tentang menjaga kehormatan keluarga juga menjadi hambatan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga sering kali tersimpan rapat dalam dinding-dinding kamar yang sepi, dan dianggap sebagai masalah personal, bukan pelanggaran hak asasi manusia.
Pemerintah dan aparat penegak hukum juga masih perlu meningkatkan kapasitas dan alokasi anggaran untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Belum semua kepala daerah berkepentingan untuk melaksanakan UU ini, dan kurangnya rumah aman, konselor, tenaga ahli hukum, dan alokasi anggaran yang cukup juga memperburuk kinerja UPTD di daerah.
Peringatan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) menjadi momen penting untuk melakukan refleksi dan sekaligus menguatkan aksi bersama untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, kita dapat membentuk masyarakat yang lebih aman dan adil bagi perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan ini tidak hanya merugikan korban secara fisik, tetapi juga psikologis dan sosial. Korban kekerasan akan mengalami trauma yang berkepanjangan, stres, depresi, atau rasa ingin bunuh diri. Kekerasan terhadap perempuan juga mempengaruhi kehidupan dan aktivitas sehari-hari korban.
Pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Meski telah disahkan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No 23 Tahun 2004, angka kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi, termasuk kasus femisida dan filisida. Fenomena ini menunjukkan bahwa UU ini masih jauh dari harapan untuk mengurangi dan mencegah kekerasan dalam rumah tangga.
Kuatnya norma sosial budaya dalam masyarakat tentang menjaga kehormatan keluarga juga menjadi hambatan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus kekerasan dalam rumah tangga sering kali tersimpan rapat dalam dinding-dinding kamar yang sepi, dan dianggap sebagai masalah personal, bukan pelanggaran hak asasi manusia.
Pemerintah dan aparat penegak hukum juga masih perlu meningkatkan kapasitas dan alokasi anggaran untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Belum semua kepala daerah berkepentingan untuk melaksanakan UU ini, dan kurangnya rumah aman, konselor, tenaga ahli hukum, dan alokasi anggaran yang cukup juga memperburuk kinerja UPTD di daerah.
Peringatan 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) menjadi momen penting untuk melakukan refleksi dan sekaligus menguatkan aksi bersama untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, kita dapat membentuk masyarakat yang lebih aman dan adil bagi perempuan.