"Korban Banjir: Kapan Pun Boleh Mengutamakan Keberdaan Alam?"
Pertemuan antara raja dan pembangunan? Belum lagi pertemuan di antara keberadaan hutan dan kemampuan penahan air. Pertanyaan terbesar hari ini adalah bagaimana kita bisa membuat ekosistem yang kuat untuk melindungi diri dari banjir besar?
Sejak 24 November, banyak wilayah di Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan sekitarnya menjadi mangsa curah hujan ekstrem. Tapi, apa sebenarnya penyebab kejadian ini? Menurut Ketua Program Studi Meteorologi ITB, Muhammad Rais Abdillah, bencana besar ini tidak hanya disebabkan oleh curah hujan ekstrem saja.
"Kondisi atmosfer yang sangat aktif, kerusakan lingkungan yang menurunkan daya resap tanah, dan melemahnya kapasitas tampung wilayah adalah tiga faktor utama yang menyebabkan bencana ini," kata Rais. Dia menjelaskan bahwa wilayah Tapanuli sedang berada pada puncak musim hujan, yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia.
Kondisi ekstrem ini memperburuk kondisi banjir di lapangan. Menurut Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Heri Andreas, kehilangan kemampuan menyerap air oleh kawasan berhutan menjadi penyebab utama bencana ini.
"Banjir bukan hanya soal hujan. Ini soal bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi," ujar Heri. Dia menjelaskan bahwa kawasan berhutan memiliki kemampuan infiltrasi yang tinggi. Jika area tersebut berubah menjadi permukiman, perkebunan intensif, atau lahan terbuka maka kehilangan kemampuan menyerap air.
Karena itu, penting bagi kita untuk membuat peta bahaya banjir di Indonesia yang lebih akurat. Heri Andreas mengatakan bahwa perencanaan tata ruang berbasis risiko sangat penting untuk mencegah bencana serupa terulang.
"Perlu kami memperhatikan keterbatasan data geospasial dan pemodelan yang belum komprehensif. Kita harus memastikan bahwa kita bisa membuat ekosistem yang kuat untuk melindungi diri dari banjir besar," ujar dia.
Pertemuan antara raja dan pembangunan? Belum lagi pertemuan di antara keberadaan hutan dan kemampuan penahan air. Pertanyaan terbesar hari ini adalah bagaimana kita bisa membuat ekosistem yang kuat untuk melindungi diri dari banjir besar?
Sejak 24 November, banyak wilayah di Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan sekitarnya menjadi mangsa curah hujan ekstrem. Tapi, apa sebenarnya penyebab kejadian ini? Menurut Ketua Program Studi Meteorologi ITB, Muhammad Rais Abdillah, bencana besar ini tidak hanya disebabkan oleh curah hujan ekstrem saja.
"Kondisi atmosfer yang sangat aktif, kerusakan lingkungan yang menurunkan daya resap tanah, dan melemahnya kapasitas tampung wilayah adalah tiga faktor utama yang menyebabkan bencana ini," kata Rais. Dia menjelaskan bahwa wilayah Tapanuli sedang berada pada puncak musim hujan, yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia.
Kondisi ekstrem ini memperburuk kondisi banjir di lapangan. Menurut Dosen Teknik Geodesi dan Geomatika ITB, Heri Andreas, kehilangan kemampuan menyerap air oleh kawasan berhutan menjadi penyebab utama bencana ini.
"Banjir bukan hanya soal hujan. Ini soal bagaimana air diterima, diserap, dan dikelola oleh permukaan bumi," ujar Heri. Dia menjelaskan bahwa kawasan berhutan memiliki kemampuan infiltrasi yang tinggi. Jika area tersebut berubah menjadi permukiman, perkebunan intensif, atau lahan terbuka maka kehilangan kemampuan menyerap air.
Karena itu, penting bagi kita untuk membuat peta bahaya banjir di Indonesia yang lebih akurat. Heri Andreas mengatakan bahwa perencanaan tata ruang berbasis risiko sangat penting untuk mencegah bencana serupa terulang.
"Perlu kami memperhatikan keterbatasan data geospasial dan pemodelan yang belum komprehensif. Kita harus memastikan bahwa kita bisa membuat ekosistem yang kuat untuk melindungi diri dari banjir besar," ujar dia.