Profil KGPH Tedjowulan & Memori Dualisme PB XIII di Keraton Solo

Keraton Solo pernah dipimpin oleh dua pangeran yang saling mengklaim sebagai Sunan PB XIII. Mereka adalah KGPH Tedjowulan dan PB XIII, yang keduanya merupakan anak dari Raja Solo sebelumnya, yaitu PB XII.

KGPH Tedjowulan lahir pada 3 Agustus 1954 dan merupakan putra PB XII melalui istrinya Kanjeng Raden Ayu Retnodiningrum. Ia juga memiliki ayah yang sama dengan Pengageng Purnah Keraton Solo, yaitu KGPH Dipokusumo. Namun, Tedjowulan memiliki ibu yang berbeda dengan PB XIII.

Konflik dualisme PB XIII itu melibatkan Tedjowulan dan PB XIII setelah PB XII meninggal pada 11 Juni 2004. Keduanya saling mengklaim sebagai pemilik takhta Keraton Solo, yang memunculkan konflik selama 8 tahun. Konflik ini akhirnya mereda pada 2012, ketika Tedjowulan dan PB XIII menandatangani kesepakatan di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Tedjowulan meminta maaf atas aksi di masa lalu dan melepaskan gelar PB XIII. Ia kemudian mendapat gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Penembahan Agung Tedjowulan sebagai mahamenteri Keraton Solo.

Selama konflik itu, muncul istilah "PB XIII Tedjowulan" dan "PB XIII Hangabehi". Kedua pangeran itu juga sama-sama menggelar acara ulang tahun kenaikan takhta sendiri.
 
Aku pikir PB XIII yang benar-benar ada di Keraton Solo sih dari PB XII, tapi kayaknya dipilih oleh Pak Tedjowulan saja. Aku curiga kalau PKB XIII itu juga tidak masuk akal, tapi aku tidak punya informasi tentang PB XIII Hangabehi, apa dia nggak ada? 😐

Aku senang sekali ketika kedua pangeran itu bisa menyelesaikan konflik mereka dan bisa bekerja sama. Kalau Pak Tedjowulan mau meminta maaf dan melepaskan gelar PB XIII, itu lumayan jujur dan sopan. Tapi aku masih curiga siapa yang benar-benar di pihak keraton ini... πŸ€”
 
Hebat banget dong! Konflik dualisme PB XIII itu memang sangat menarik, tapi juga cukup kasar ya πŸ€”. Tedjowulan dan PB XIII yang saaatnya bergaduh ini, sebenarnya masih punya hubungan keluarga yang serasa dijadikan mainan oleh ayah mereka, ya PB XII. Tapi, akhirnya saja ketika Tedjowulan mau menyerah dan meminta maaf, konflik itu bisa berakhir dengan damai. Sepertinya Tedjowulan yang lebih bijak, dia tahu bahwa ada satu takhta Keraton Solo aja πŸ™.

Saya pikir juga penting banget jika kita bisa belajar dari kesalahan masa lalu, seperti yang dilakukan oleh Tedjowulan. Dia bisa menunjukkan bahwa dia sudah mau tumbuh dan jadi lebih bijak. Tapi, sayangnya, ada orang lain yang salah paham dan terus berusaha menguasai takhta itu πŸ€¦β€β™‚οΈ.
 
Gue pikir PB XIII di Solo ini buka peluang bagu untuk muncul rahasia dan cerita belakang keraton itu, siapa tau rahasia itu bikin kita terkenal di kalangan wisatawan yang datang ke Solo, gue ingat ketika gue pernah ngobrol dengan temen di Jogja, dia bilang bahwa PB XIII ini bukan hanya tentang gelar dan kekuasaan, tapi juga tentang cinta dan rasa tanggung jawab dari pangeran-pangeran itu. Kenapa salah satunya harus melepaskan gelar dan meminta maaf, itu bukti betapa dermawan hatinya, gue rasa ini bikin kita Indonesia jadi lebih bangga dengan budaya keraton Solo yang begitu kaya akan sejarah dan nilai-nilai humanis. πŸ˜ŠπŸ‘‘
 
Aku pikir ini bakal jadi contoh yang baik di Keraton Solo, tapi aku masih ragu nih... Bagaimana kalau ada kompromi lebih lanjut? Aku yakin Tedjowulan dan PB XIII bisa melakukan kerja sama lebih baik lagi. Mereka bisa membuat aturan bersama untuk mengelola Keraton Solo nanti, jadi tidak ada lagi konflik seperti ini. Dan aku juga penasaran bagaimana mereka akan memilih gelar yang tepat untuk diri sendiri nanti...
 
Maksudnya sih konflik dualisme PB XIII itu bikin saya penasaran banget... Bagaimana kalau kita lihat dari sudut pandang peribadatan, tapi sayangnya konflik ini lebih fokus pada kekuasaan daripada spiritualitas ya... Mungkin karena itu, saya pikir baik PB XIII dan Tedjowulan sama-sama harus mengambil waktu untuk memahami satu sama lain dan mencari solusi yang tidak melibatkan konfrontasi. Tapi siapa tahu, saya hanya netizen saja πŸ˜‚.
 
ada kemungkinan sih kalau PB XIII Hangabehi gak asli cucu Raja Solo kan? ari aje, PB XIII Tedjowulan kayaknya udah capek banget sih karena klaim dualisme itu, tapi akhirnya gak bisa lagi jadi PB XIII hangabehi πŸ€”

lalu, siapa sih yang benar-benar memimpin Keraton Solo? PB XIII ini gak asli cucu Raja Solo kan? dan Tedjowulan juga kayaknya udah capek banget sih karena klaim dualisme itu... πŸ™„
 
πŸ€” Masih ngeweng-weng banget sih konflik dualisme PB XIII di Keraton Solo. Kenapa gini, kita bisa saja memikirkan tentang sejarah dan hubungan keluarga yang lebih dalam, bukan hanya tentang siapa yang benar atau salah. Keduanya adalah anak dari Raja Solo yang sama, jadi apa yang penting adalah bagaimana mereka bisa bekerja sama untuk keseluruhan masyarakat Solo, bukan tentang siapa yang memiliki kekuasaan sebenarnya. Dan sepertinya mereka sudah bisa beradaptasi dengan baik setelah menandatangani kesepakatan di 2012, jadi kita harus fokus pada hal positif dan tidak terlalu memikirkan tentang masa lalu. πŸ“š
 
Gue pikir konflik dualisme PB XIII itu bikin banyak korban, tapi juga bikin kita tetap sabar dan tidak mudah marah πŸ™. Gue senang lihat Tedjowulan dan PB XIII akhirnya bisa menyelesaikan masalahnya dan menandatangani kesepakatan yang positif. Gue rasa mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk jaga keamanan dan kemajuan Keraton Solo, bukan lagi-bagi lagi berkonflik πŸ˜’. Gue harap ini bisa menjadi contoh bagi kita semua untuk tidak mudah marah dan selalu mencari solusi yang positif πŸ’‘.
 
Mungkin saja, konflik dualisme di Keraton Solo sebenarnya hanya bagian dari cerita yang lebih kompleks πŸ€”. Mereka bilang "Kemana Pernah Raja?" tapi kita tahu jawabannya ada di dalam diri mereka sendiri 😊.
 
Masing-masing PB XIII dan KGPH Tedjowulan ya, kayaknya keduanya penasaran dengan gelar Sunan PB XIII apa deh πŸ€”. Tapi siapa tahu kalau konflik itu sebenarnya berawang-awalan dari kesalasan pribadi ya πŸ˜‚. Saya pikir yang penting adalah kedua belah pihak bisa menyelesaikan masalahnya dengan damai dan tidak perlu bawa keraguan lagi πŸ’ͺ. Dan siapa tahu nanti di masa depan, ada orang baru yang mau mengambil alih gelar Sunan PB XIII 🀞.
 
Gue rasa kalau dualisme PB XIII itu agak susah dipahami oleh orang luar, tapi kalau dilihat dari perspektif keraton Solo itu sendiri, gue rasa konflik itu seperti keluarga yang bengkok. Keduanya memiliki kepentingan yang sama, tapi cara mengambilnya berbeda. Tedjowulan dan PB XIII sama-sama ingin menjadi pemimpin keraton Solo, tapi Tedjowulan memang memiliki hak sebagai putra PB XII. Gue rasa gue bisa merasakan emosi dari kedua belah pihak, karena kalau di sini kita lihat orang yang menang, tapi sebenarnya ada banyak orang yang terkena dampak.

Gue rasa Tedjowulan yang meminta maaf dan melepaskan gelar PB XIII itu agak berat hati. Gue suka nonton film yang drama, gue penasaran bagaimana kalau di sini kita bisa melihat dari perspektif Tedjowulan saat itu. Bagaimana rasanya menyerah dan meminta maaf? Tapi gue juga rasa Tedjowulan berani untuk mengambil keputusan itu, yang pasti bukanlah hal yang mudah.

Gue rasa konflik ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Kita harus belajar untuk menghadapi perbedaan dan tidak saling mengklaim sebagai yang benar atau salah. Kita harus coba untuk memahami perspektif orang lain dan mencari solusi yang baik untuk semua pihak.
 
πŸ˜• Konflik dualisme di Keraton Solo masih bikin rasa tidak nyaman nih, kalau sih mereka sudah bisa menandatangani kesepakatan pada 2012, tapi masih ada yang terus klaim sebagai Sunan PB XIII πŸ€”. Tedjowulan meminta maaf dan melepaskan gelar PB XIII, tapi siapa tahu lagi kalau mereka ini kan keberatan πŸ˜’. Dan yang paling bikin curiga adalah istilah "PB XIII Hangabehi", sih apa maksanya? πŸ€‘. Mesti ada yang lebih banyak yang terkena dampak dari konflik ini, bukan hanya keraton Solo aja, tapi juga penghuni Jakarta yang harus dijadikan tempat menandatangani kesepakatan itu πŸ™οΈ.
 
Gue pikir kalau keraton solo ini kayak sumpah, sih... dua pangeran yang sama-sama klaim sebagai sunan PB XIII, tapi lalu siapa yang benar? πŸ˜‚ Konflik itu terasa seperti film drama, banget! Maka-maka aku senang banget ketika akhirnya Tedjowulan dan PB XIII bisa menandatangani kesepakatan. Aku rasa ini bagus, karena tidak ada lagi konflik di masa lalu. Jadi, siapa yang benar? Gue pikir masing-masing pangeran bisa jadi benar... kalau gue nggak salah. πŸ€”
 
Gue rasa si PB XIII Tedjowulan lebih canggih, karena dia bisa ngerasain konflik dualisme dan bilang "toh aku sudah cape, aku mau ngedeclare war di keraton solo" πŸ€£πŸ‘‘

[Image: PB XIII Tedjowulan dengan ekspresi cape](https://i.imgur.com/Qb9F0tV.png)

Gue rasa PB XIII Hangabehi lebih lucu, karena dia punya nama yang ngakak πŸ˜‚. Tapi siapa tahu, mungkin dia buatan gue sendiri 🀫

[Image: PB XIII Hangabehi dengan nama "Hangabehi" di atasnya](https://i.imgur.com/n0aA7LW.png)

Gue rasa yang penting adalah keraton solo bisa ngeresol konflik itu, dan akhirnya berdampingan 😊.
 
Maaafkan ya, si PB XIII pasti bingung banget ketika diaduk2 seperti itu πŸ€•. Saya rasa dia tidak perlu diadu-dukain karena gini, kedua pangeran ini sama-sama anak dari Raja Solo, kan? Mereka bisa jadi berbagi warisan keraton dan orang tua mereka juga sama-sama seseorang yang penting di keraton Solo. Itu jauh lebih baik daripada membuat konflik dan menunggu 8 tahun untuk diresolusi πŸ˜”. Saya rasa PB XIII bisa lebih bijak dalam mengelola konflik ini dengan cara berbagi kekuasaan dengan KGPH Tedjowulan.
 
Gue rasa PB XIII yang asli ya? Tedjowulan nggak bisa dipercaya nih, sih... πŸ€” Kemarin sih aja dia duduk di takhta Keraton Solo, dan lagi-lagi jadi mahamenteri... apa lagi yang dia capai? πŸ˜’
 
ada kayaknya konflik dualisme di keraton solo itu, sih PB XIII sapa-siapa? sebenarnya tidak ada bukti yang jelas sih tentang siapa yang benar-benar anak dari raja solo. aku pikir kanjeng raden ayu retnodiningrum itu lebih berani mengaku sebagai ibu PB XIII daripada PB XIII sendiri. dan kenapa Tedjowulan bisa saja tidak masuk akal lagi nih, karena dia sumpah jadi mahamenteri keraton solo setelah aksi di masa lalu, tapi aku masih rasa ada sesuatu yang tidak benar di balik cerita ini...
 
Gue rasa kalau konflik dualisme di Keraton Solo itu gue punya wawasan yang bisa aku berbagi dgn temen-temen. Gua pikir, kalau kita suka banget dengan seseorang, tapi kita juga harus mengetahui siapa dia dalam konteks historis atau keluarga, maka gue rasa kita bisa menghindari kesalahpahaman yang berkepanjangan seperti konflik dualisme PB XIII. Gua lihat kalau kedua pangeran itu sama-sama memiliki argumen, tapi akhirnya harus menandatangani kesepakatan untuk memutuskan konflik. Gue rasa gede-gade juga kalau kita bisa belajar dari kegagalan mereka dan tidak membuat kesalahan yang sama lagi di masa depan πŸ˜ŠπŸ‘
 
kembali
Top