Gugatan praperadilan terhadap Delpedro Marhaen yang merupakan Direktur Eksekutif Lokataru Foundation tidak dapat disepakati oleh hakim PN Jakarta Selatan. Gugatan tersebut terkait dengan kasus dugaan penghasutan dalam aksi unjuk rasa akhir Agustus 2025 lalu. Ketika putusan praperadilan tersebut dibacakan, Magda Anista, ibu dari Delpedro yang juga mengetuai aktivis tersebut, langsung menangis histeris dan memprotes keputusan hakim itu.
Sebelumnya, Magda bersikukuh menyerukan bahwa Delpedro tidak bersalah. Dia menuturkan pernyataan seperti ini sambil menangis dan meminta agar Delpedro diakui tidak bersalah.
Menurut Magda, putusan praperadilan tersebut merupakan penzaliman yang menormalisasikan pembungkaman kebebasan berekspresi. Dia menolak pernyataan dari hakim bahwa penetapan tersangka Delpedro adalah sesuai dengan hukum dan menilai polisi telah mengantongi dua alat bukti yang cukup dalam proses penetapan tersangka.
Sementara itu, pengacara dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), Muhamad Saleh, menegaskan bahwa putusan praperadilan Delpedro menunjukkan posisi kepolisian semakin kuat tanpa adanya mekanisme pengawasan yang memadai. Dia menilai penolakan permohonan praperadilan tersebut merupakan upaya untuk melakukan deeskalasi gerakan dan membuat konsolidasi gerakan itu menurun.
Namun, Muhamad menjelaskan bahwa tindakan represif kepolisian dinilai semakin sulit dikontrol dan berpotensi berulang pada aksi-aksi masyarakat sipil di masa depan. Dia menyebutkan situs ini merupakan alarm bagi kebebasan berpendapat di Indonesia.
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo, juga menilai kasus ini menunjukkan adanya standar ganda dalam penafsiran Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014. Dia menjelaskan bahwa jika hakim hanya melihat ceklis administrasi penyidikan saja tanpa melihat kualitas dan relevansinya, maka pelanggaran prosedural oleh penyidik Polri akan diligitmasi.
Alif menyebutkan bahwa kasus ini menunjukkan adanya preseden buruk bagi iklim demokrasi. Dia menolak pernyataan dari hakim bahwa putusan praperadilan tersebut dapat menjadi dasar untuk menyatakan para aktivis bersalah.
Sebelumnya, Magda bersikukuh menyerukan bahwa Delpedro tidak bersalah. Dia menuturkan pernyataan seperti ini sambil menangis dan meminta agar Delpedro diakui tidak bersalah.
Menurut Magda, putusan praperadilan tersebut merupakan penzaliman yang menormalisasikan pembungkaman kebebasan berekspresi. Dia menolak pernyataan dari hakim bahwa penetapan tersangka Delpedro adalah sesuai dengan hukum dan menilai polisi telah mengantongi dua alat bukti yang cukup dalam proses penetapan tersangka.
Sementara itu, pengacara dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), Muhamad Saleh, menegaskan bahwa putusan praperadilan Delpedro menunjukkan posisi kepolisian semakin kuat tanpa adanya mekanisme pengawasan yang memadai. Dia menilai penolakan permohonan praperadilan tersebut merupakan upaya untuk melakukan deeskalasi gerakan dan membuat konsolidasi gerakan itu menurun.
Namun, Muhamad menjelaskan bahwa tindakan represif kepolisian dinilai semakin sulit dikontrol dan berpotensi berulang pada aksi-aksi masyarakat sipil di masa depan. Dia menyebutkan situs ini merupakan alarm bagi kebebasan berpendapat di Indonesia.
Sementara itu, Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo, juga menilai kasus ini menunjukkan adanya standar ganda dalam penafsiran Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014. Dia menjelaskan bahwa jika hakim hanya melihat ceklis administrasi penyidikan saja tanpa melihat kualitas dan relevansinya, maka pelanggaran prosedural oleh penyidik Polri akan diligitmasi.
Alif menyebutkan bahwa kasus ini menunjukkan adanya preseden buruk bagi iklim demokrasi. Dia menolak pernyataan dari hakim bahwa putusan praperadilan tersebut dapat menjadi dasar untuk menyatakan para aktivis bersalah.