Tiga advokat, Marina Ria Aritonang dan Yosephine Chrisan Eclesia Tamba, bersama Syamsul Jahidin dan Ratih Mutiara Louk Fanggi, mengajukan pasal 47 ayat (1) UU TNI ke MK. Mereka mengklaim bahwa ketentuan dalam pasal tersebut memberikan kewenangan terlalu luas bagi prajurit TNI dan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
Syamsul Jahidin, salah satu dari empat advokat yang mengajukan pasal 47 ayat (1) UU TNI ke MK, berujar bahwa Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa mundur atau pensiun. Hal ini dinilai mempersempit kesempatan kerja warga sipil di pemerintahan.
Syamsul menambahkan bahwa ketentuan dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI tidak jelas dan membuka ruang ambiguitas, yang dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Ia juga mengingatkan bahwa kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air semakin tertekan akibat maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya angka pengangguran.
Para advokat meminta MK menyatakan Pasal 47 ayat (1) UU TNI tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan hanya berlaku untuk jabatan yang terkait dengan keamanan dan pertahanan negara.
Syamsul Jahidin, salah satu dari empat advokat yang mengajukan pasal 47 ayat (1) UU TNI ke MK, berujar bahwa Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa mundur atau pensiun. Hal ini dinilai mempersempit kesempatan kerja warga sipil di pemerintahan.
Syamsul menambahkan bahwa ketentuan dalam Pasal 47 ayat (2) UU TNI tidak jelas dan membuka ruang ambiguitas, yang dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Ia juga mengingatkan bahwa kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air semakin tertekan akibat maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya angka pengangguran.
Para advokat meminta MK menyatakan Pasal 47 ayat (1) UU TNI tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan hanya berlaku untuk jabatan yang terkait dengan keamanan dan pertahanan negara.