Pertunjukan kembang api di Dataran Tinggi Tibet: Simbol ketegangan antara seni komersial dan tanggung jawab lingkungan
Kemarahan publik dan kritik internasional menanjak setelah pertunjukan kembang api yang diselenggarakan di Dataran Tinggi Tibet, membuktikan bahwa peristiwa singkat itu memicu kerusakan ekologis serius. Pertunjukan bertajuk "Rising Dragon" yang diselenggarakan oleh Arc'teryx dan seniman asal Tiongkok, Cai Guo-Qiang, pada 19 September 2025 lalu, menyalakan 1.050 kembang api di lereng gunung di dekat Kabupaten Gyantse, Shigatse, antara ketinggian 4.670 dan 5.020 m.
Pertunjukan berdurasi 52 detik itu disebut sebagai penghormatan artistik terhadap alam namun justru berubah menjadi simbol ketegangan antara seni komersial dan tanggung jawab lingkungan. Pertunjukan yang menimbulkan kerusakan ekologis serius ini membentuk kaskade asap dan api berwarna berbentuk naga, tetapi kemarahan publik dan kritik internasional menyebut bahwa peristiwa singkat itu memicu kerusakan ekologis yang sangat besar.
Hasil investigasi resmi yang dirilis oleh Tim Investigasi Kota Shigatse mengonfirmasi apa yang dikhawatirkan para kritikus, yaitu peristiwa singkat tersebut telah merusak 30,06 hektar padang rumput dengan struktur lapisan tanah dan rumput hancur akibat operasi perataan, injakan manusia, dan jejak kendaraan. Residu kembang api, puing plastik, dan material lainnya tidak dibersihkan dengan baik, dan cahaya terang yang tiba-tiba serta suara gemuruh menyebabkan gangguan jangka pendek bagi satwa liar di area tersebut.
Laporan tersebut didasarkan pada pemantauan komprehensif menggunakan 75 titik pemantauan lingkungan atmosfer, air permukaan, dan tanah, 90 titik pemantauan keanekaragaman hayati, dan 30 kamera inframerah. Laporan tersebut menyebutkan bahwa meskipun air permukaan memenuhi baku mutu dan konsentrasi polutan atmosfer masih dalam batas yang dapat diterima, peristiwa tersebut merupakan "aktivitas gangguan manusia di wilayah dataran tinggi yang sensitif secara ekologis".
Pihak berwenang mengakui bahwa potensi risiko ekologis memerlukan pemantauan dan pelacakan, sebuah pengakuan yang menyadarkan bahwa tingkat kerusakan yang sesungguhnya mungkin baru dapat dipahami selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun. Media pemerintah Tiongkok secara mengejutkan dengan tegas mengecam mereka.
Kemarahan publik dan kritik internasional menanjak setelah pertunjukan kembang api yang diselenggarakan di Dataran Tinggi Tibet, membuktikan bahwa peristiwa singkat itu memicu kerusakan ekologis serius. Pertunjukan bertajuk "Rising Dragon" yang diselenggarakan oleh Arc'teryx dan seniman asal Tiongkok, Cai Guo-Qiang, pada 19 September 2025 lalu, menyalakan 1.050 kembang api di lereng gunung di dekat Kabupaten Gyantse, Shigatse, antara ketinggian 4.670 dan 5.020 m.
Pertunjukan berdurasi 52 detik itu disebut sebagai penghormatan artistik terhadap alam namun justru berubah menjadi simbol ketegangan antara seni komersial dan tanggung jawab lingkungan. Pertunjukan yang menimbulkan kerusakan ekologis serius ini membentuk kaskade asap dan api berwarna berbentuk naga, tetapi kemarahan publik dan kritik internasional menyebut bahwa peristiwa singkat itu memicu kerusakan ekologis yang sangat besar.
Hasil investigasi resmi yang dirilis oleh Tim Investigasi Kota Shigatse mengonfirmasi apa yang dikhawatirkan para kritikus, yaitu peristiwa singkat tersebut telah merusak 30,06 hektar padang rumput dengan struktur lapisan tanah dan rumput hancur akibat operasi perataan, injakan manusia, dan jejak kendaraan. Residu kembang api, puing plastik, dan material lainnya tidak dibersihkan dengan baik, dan cahaya terang yang tiba-tiba serta suara gemuruh menyebabkan gangguan jangka pendek bagi satwa liar di area tersebut.
Laporan tersebut didasarkan pada pemantauan komprehensif menggunakan 75 titik pemantauan lingkungan atmosfer, air permukaan, dan tanah, 90 titik pemantauan keanekaragaman hayati, dan 30 kamera inframerah. Laporan tersebut menyebutkan bahwa meskipun air permukaan memenuhi baku mutu dan konsentrasi polutan atmosfer masih dalam batas yang dapat diterima, peristiwa tersebut merupakan "aktivitas gangguan manusia di wilayah dataran tinggi yang sensitif secara ekologis".
Pihak berwenang mengakui bahwa potensi risiko ekologis memerlukan pemantauan dan pelacakan, sebuah pengakuan yang menyadarkan bahwa tingkat kerusakan yang sesungguhnya mungkin baru dapat dipahami selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun. Media pemerintah Tiongkok secara mengejutkan dengan tegas mengecam mereka.