Dalam satu tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, unsur militer semakin sering menembus ruang sipil. Menurut Peneliti Formappi Lucius Karus, fenomena ini digambarkan dari dorongan dari pemerintah dan DPR untuk memperluas peran TNI di luar sektor pertahanan.
Dalam rancangan undang-undang yang sedang dibahas, terlihat arah politik baru yang mengaburkan batas antara militer dan sipil. Misalnya, rencana pembahasan RUU Ketahanan dan Keamanan Siber yang berpotensi memberi kewenangan hukum kepada TNI. Rencana ini akan menjadikan wilayah kepolisian menjadi ranah militer.
Kecenderungan ini menimbulkan khawatir bahwa batas antara peran militer dan sipil dalam sistem demokrasi semakin kabur. Menurut Lucius, jika militer diberi tempat yang sangat strategis, itu berarti harus ada definisi ulang terhadap urusan ketatanegaraan.
Selain itu, Lucius juga menyoroti lemahnya kinerja kabinet yang justru lebih sibuk dengan pelantikan pejabat daripada pencapaian program. Ia menyebut tahun pertama pemerintahan ini sebagai tahun pelantikan karena banyaknya pergantian posisi tanpa diikuti peningkatan hasil kerja.
Menurut Lucius, presiden harus mulai mengevaluasi kinerja para pembantunya dan membuka telinganya untuk mendengar masukan-masukan terkait dengan kinerja menteri. Dengan demikian, pemerintahan dapat lebih efektif dan tidak hanya mengalami pelantikan tanpa hasil yang signifikan.
Sementara itu, fenomena militerisasi politik ini menimbulkan pertanyaan apakah Indonesia benar-benar "Emas" dalam konteks pemerintahan Prabowo-Gibran, ataukah semuanya hanya semacam "Cemas".
Dalam rancangan undang-undang yang sedang dibahas, terlihat arah politik baru yang mengaburkan batas antara militer dan sipil. Misalnya, rencana pembahasan RUU Ketahanan dan Keamanan Siber yang berpotensi memberi kewenangan hukum kepada TNI. Rencana ini akan menjadikan wilayah kepolisian menjadi ranah militer.
Kecenderungan ini menimbulkan khawatir bahwa batas antara peran militer dan sipil dalam sistem demokrasi semakin kabur. Menurut Lucius, jika militer diberi tempat yang sangat strategis, itu berarti harus ada definisi ulang terhadap urusan ketatanegaraan.
Selain itu, Lucius juga menyoroti lemahnya kinerja kabinet yang justru lebih sibuk dengan pelantikan pejabat daripada pencapaian program. Ia menyebut tahun pertama pemerintahan ini sebagai tahun pelantikan karena banyaknya pergantian posisi tanpa diikuti peningkatan hasil kerja.
Menurut Lucius, presiden harus mulai mengevaluasi kinerja para pembantunya dan membuka telinganya untuk mendengar masukan-masukan terkait dengan kinerja menteri. Dengan demikian, pemerintahan dapat lebih efektif dan tidak hanya mengalami pelantikan tanpa hasil yang signifikan.
Sementara itu, fenomena militerisasi politik ini menimbulkan pertanyaan apakah Indonesia benar-benar "Emas" dalam konteks pemerintahan Prabowo-Gibran, ataukah semuanya hanya semacam "Cemas".