Banjir di Indonesia Tidak hanya Terjadi karena Hujan Lebat, Tetapi Juga Akibat Perubahan Penggunaan Lahan
Pada 2020, penelitian yang dilakukan oleh tim ilmuwan dari Universitas Göttingen, IPB University, dan BMKG menunjukkan bahwa banjir di Indonesia bukan hanya terjadi karena curah hujan tinggi, tetapi juga disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan.
Penelitian ini yang dilakukan lebih dari 100 wawancara dengan petani kecil, penduduk desa, dan pengambil keputusan di Provinsi Jambi menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit dan karet membuat siklus air lokal menjadi tidak stabil.
Pengalihan lahan ini membuat air hujan lebih sedikit yang terserap tanah, sehingga air dengan cepat mengalir ke permukaan. Selain itu, pembangunan bendungan banjir dan saluran drainase juga memiliki peranan penting dalam meningkatkan banjir.
"Perubahan tata guna lahan skala besar membuat pemadatan tanah, jadi lebih sedikit air hujan terserap tanah dan air dengan cepat mengalir ke permukaan. Khususnya kerusakan dataran banjir yang kian parah memiliki peranan penting pada proses ini," kata rekan penulis Christian Stiegler dari Universitas Göttingen.
Sementara itu, penduduk desa memandang pembangunan bendungan banjir dan saluran drainase sebagai penyebab peningkatan banjir. Bendungan ini dimanfaatkan oleh pemilik lahan perkebunan kelapa sawit, yang kian banyak dibudidayakan di lahan basah seperti dataran banjir sungai atau lahan gambut.
Peningkatan banjir juga berdampak pada konflik sosial baru. "Jika tidak, peningkatan banjir akan berdampak khususnya pada masyarakat miskin, karena perusahaan-perusahaan besar hanya akan mengalihkan air," ucap Jennifer Merten, penulis utama dari Universitas Göttingen.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hutan memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan siklus air. Hutan dapat menjadi spons untuk menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya untuk tidak langsung masuk ke sungai.
Namun, kerusakan ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) membuat banjir bandang terjadi. "Peran hutan untuk intersepsi, infiltrasi dan evapotranspirasi akan hilang. Air hujan yang deras tak lagi banyak terserap karena lapisan tanah kehilangan porositas akibat hilangnya jaringan akar," kata Hatma Suryatmojo, peneliti hidrologi hutan dan konservasi DAS UGM.
Deforestasi juga menjadi salah satu penyebab peningkatan banjir. Penelitian menunjukkan bahwa Sumatra Barat memiliki laju deforestasi tertinggi di Indonesia. Catatan Walhi menunjukkan 320 ribu ha hutan primer dan 740 ribu ha tutupan pohon hilang di sana pada 2001-2024.
Jadi, untuk mengurangi dampak perubahan penggunaan lahan pada siklus air, diperlukan perlindungan tanah dan perencanaan tata guna lahan. Selain itu, juga perlu dilakukan penatan lanskap wilayah untuk melindungi masyarakat dari banjir.
Pada 2020, penelitian yang dilakukan oleh tim ilmuwan dari Universitas Göttingen, IPB University, dan BMKG menunjukkan bahwa banjir di Indonesia bukan hanya terjadi karena curah hujan tinggi, tetapi juga disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan.
Penelitian ini yang dilakukan lebih dari 100 wawancara dengan petani kecil, penduduk desa, dan pengambil keputusan di Provinsi Jambi menunjukkan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit dan karet membuat siklus air lokal menjadi tidak stabil.
Pengalihan lahan ini membuat air hujan lebih sedikit yang terserap tanah, sehingga air dengan cepat mengalir ke permukaan. Selain itu, pembangunan bendungan banjir dan saluran drainase juga memiliki peranan penting dalam meningkatkan banjir.
"Perubahan tata guna lahan skala besar membuat pemadatan tanah, jadi lebih sedikit air hujan terserap tanah dan air dengan cepat mengalir ke permukaan. Khususnya kerusakan dataran banjir yang kian parah memiliki peranan penting pada proses ini," kata rekan penulis Christian Stiegler dari Universitas Göttingen.
Sementara itu, penduduk desa memandang pembangunan bendungan banjir dan saluran drainase sebagai penyebab peningkatan banjir. Bendungan ini dimanfaatkan oleh pemilik lahan perkebunan kelapa sawit, yang kian banyak dibudidayakan di lahan basah seperti dataran banjir sungai atau lahan gambut.
Peningkatan banjir juga berdampak pada konflik sosial baru. "Jika tidak, peningkatan banjir akan berdampak khususnya pada masyarakat miskin, karena perusahaan-perusahaan besar hanya akan mengalihkan air," ucap Jennifer Merten, penulis utama dari Universitas Göttingen.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hutan memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan siklus air. Hutan dapat menjadi spons untuk menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya untuk tidak langsung masuk ke sungai.
Namun, kerusakan ekosistem hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) membuat banjir bandang terjadi. "Peran hutan untuk intersepsi, infiltrasi dan evapotranspirasi akan hilang. Air hujan yang deras tak lagi banyak terserap karena lapisan tanah kehilangan porositas akibat hilangnya jaringan akar," kata Hatma Suryatmojo, peneliti hidrologi hutan dan konservasi DAS UGM.
Deforestasi juga menjadi salah satu penyebab peningkatan banjir. Penelitian menunjukkan bahwa Sumatra Barat memiliki laju deforestasi tertinggi di Indonesia. Catatan Walhi menunjukkan 320 ribu ha hutan primer dan 740 ribu ha tutupan pohon hilang di sana pada 2001-2024.
Jadi, untuk mengurangi dampak perubahan penggunaan lahan pada siklus air, diperlukan perlindungan tanah dan perencanaan tata guna lahan. Selain itu, juga perlu dilakukan penatan lanskap wilayah untuk melindungi masyarakat dari banjir.