Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus mengoptimalkan instrumen fiskal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi target 8% hingga 2029, seperti yang ditetapkan Presiden Prabowo. Upaya ini dilakukan dengan cara pembukaan blokir atau efisiensi anggaran belanja kementerian/lembaga ataupun transfer ke daerah, insentif untuk kelas menengah, dan penguatan daya beli masyarakat.
Direktur Strategi Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi Kemenkeu Andriansyah mengatakan bahwa efisiensi dari sisi kami sudah dilakukan, terakhir-terakhir kami membuka blokir anggaran ke kementerian/lembaga atau daerah. Namun, untuk belanja tahun depan pihaknya masih berpegang pada APBN 2026 dan belum ada rencana mengubah atau usulan perubahan.
Adapun terkait insentif untuk kelas menengah, pemerintah melanjutkan insentif pada sektor perumahan (PPN DTP) untuk pembelian rumah senilai Rp2 miliar-Rp5 miliar pada 2026 dan program magang nasional. Program ini harap dijadikan salah satu pendorong penyerapan tenaga kerja dan daya beli.
Kemenkeu juga akan melanjutkan program injeksi likuiditas pada perbankan pelat merah sekitar Rp276 triliun untuk menggenjot daya beli. Injeksi ini diharapkan dapat meningkatkan demand kredit dan memperkuat supply.
Namun, kebijakan fiskal tidak bisa sendirian menopang pertumbuhan ekonomi. Perlu juga dorongan sektor riil, dunia usaha, dan masyarakat. Andriansyah mengatakan bahwa Kemenkeu hanya dapat menjadi katalisator dan membutuhkan dukungan dari sektor lainnya.
Kepada kesempatan yang sama, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menyoroti perlambatan peredaran uang dan kredit di masyarakat. Ia juga mengakui bahwa pertumbuhan kredit lebih terkendala atau ada constraint pada sisi permintaan dan membutuhkan dorongan bukan hanya dari kebijakan fiskal, tapi juga kebijakan kementerian dan lembaga lain untuk meningkatkan aktivitas dunia usaha.
Direktur Strategi Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi Kemenkeu Andriansyah mengatakan bahwa efisiensi dari sisi kami sudah dilakukan, terakhir-terakhir kami membuka blokir anggaran ke kementerian/lembaga atau daerah. Namun, untuk belanja tahun depan pihaknya masih berpegang pada APBN 2026 dan belum ada rencana mengubah atau usulan perubahan.
Adapun terkait insentif untuk kelas menengah, pemerintah melanjutkan insentif pada sektor perumahan (PPN DTP) untuk pembelian rumah senilai Rp2 miliar-Rp5 miliar pada 2026 dan program magang nasional. Program ini harap dijadikan salah satu pendorong penyerapan tenaga kerja dan daya beli.
Kemenkeu juga akan melanjutkan program injeksi likuiditas pada perbankan pelat merah sekitar Rp276 triliun untuk menggenjot daya beli. Injeksi ini diharapkan dapat meningkatkan demand kredit dan memperkuat supply.
Namun, kebijakan fiskal tidak bisa sendirian menopang pertumbuhan ekonomi. Perlu juga dorongan sektor riil, dunia usaha, dan masyarakat. Andriansyah mengatakan bahwa Kemenkeu hanya dapat menjadi katalisator dan membutuhkan dukungan dari sektor lainnya.
Kepada kesempatan yang sama, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menyoroti perlambatan peredaran uang dan kredit di masyarakat. Ia juga mengakui bahwa pertumbuhan kredit lebih terkendala atau ada constraint pada sisi permintaan dan membutuhkan dorongan bukan hanya dari kebijakan fiskal, tapi juga kebijakan kementerian dan lembaga lain untuk meningkatkan aktivitas dunia usaha.