Pemerintah disibuk dengan mengendalikan impor ilegal agar industri tekstil bangkit, karena arus barang impor ilegal yang semakin giat menyita pasar domestik dan membawa dampak serius bagi para produsen tekstil di Indonesia.
"Menurut kami, tahun depan akan menjadi faktor penentu keberlangsungan industri tekstil, apakah bangkit atau tren pemutusan hubungan kerja (PHK) terus berlanjut," kata Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI). Menurutnya, industri tekstil sudah tidak pernah lebaran lagi setelah keberadaan barang impor menyerbu pasar pasca 2022.
Selain itu, persaingan yang tidak adil dengan barang-barang impor tersebut menjadi penyakit utama di pasar domestik. "Kita perlu dengan cepat menyelesaikan permasalahan ini agar industri dalam negeri bisa bangkit dengan momentum lebaran," ucap Redma.
Meski industri tekstil terancam, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Rayon Tekstil (KAHMI Tekstil) Agus Riyanto menyarankan agar pengusaha tidak terburu-buru melakukan PHK menjelang lebaran 2026. Ia menyatakan bahwa dampak akan terasa ketika PHK dan penutupan pabrik terjadi.
Sebelumnya, Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Maman Abdurrahman mengatakan bahwa pakain bekas impor menjadi faktor yang mengancam pengusaha lokal. Jumlah impor pakaian bekas pada 2021 sebanyak 7 ton, namun melonjak drastis menjadi 3.600 ton pada 2024.
Namun, sejak awal tahun hingga pertengahan 2025 jumlahnya sudah menurun. Meski demikian, Maman menyatakan bahwa produk impor tersebut masuk karena dari sisi hulu tidak terbendung oleh pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Ia juga menyatakan bahwa pemerintah harus mengendalikan impor ilegal agar industri tekstil bangkit. "Contohnya jilbab, bayangkan harganya dijual kurang lebih Rp 2.000 – 3.000 perak. Hancur pengusaha-pengusaha, produsen-produsen kita di UMKM," katanya.
Sementara itu, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menuntut pemerintah untuk mengendalikan arus barang impor ilegal sebelum masa lebaran 2026. Mereka meminta pemerintah untuk memberantas impor ilegal melalui praktik larangan impor borongan, serta mengurangi kuota impor.
"Menurut kami, tahun depan akan menjadi faktor penentu keberlangsungan industri tekstil, apakah bangkit atau tren pemutusan hubungan kerja (PHK) terus berlanjut," kata Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI). Menurutnya, industri tekstil sudah tidak pernah lebaran lagi setelah keberadaan barang impor menyerbu pasar pasca 2022.
Selain itu, persaingan yang tidak adil dengan barang-barang impor tersebut menjadi penyakit utama di pasar domestik. "Kita perlu dengan cepat menyelesaikan permasalahan ini agar industri dalam negeri bisa bangkit dengan momentum lebaran," ucap Redma.
Meski industri tekstil terancam, Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Rayon Tekstil (KAHMI Tekstil) Agus Riyanto menyarankan agar pengusaha tidak terburu-buru melakukan PHK menjelang lebaran 2026. Ia menyatakan bahwa dampak akan terasa ketika PHK dan penutupan pabrik terjadi.
Sebelumnya, Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Maman Abdurrahman mengatakan bahwa pakain bekas impor menjadi faktor yang mengancam pengusaha lokal. Jumlah impor pakaian bekas pada 2021 sebanyak 7 ton, namun melonjak drastis menjadi 3.600 ton pada 2024.
Namun, sejak awal tahun hingga pertengahan 2025 jumlahnya sudah menurun. Meski demikian, Maman menyatakan bahwa produk impor tersebut masuk karena dari sisi hulu tidak terbendung oleh pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
Ia juga menyatakan bahwa pemerintah harus mengendalikan impor ilegal agar industri tekstil bangkit. "Contohnya jilbab, bayangkan harganya dijual kurang lebih Rp 2.000 – 3.000 perak. Hancur pengusaha-pengusaha, produsen-produsen kita di UMKM," katanya.
Sementara itu, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menuntut pemerintah untuk mengendalikan arus barang impor ilegal sebelum masa lebaran 2026. Mereka meminta pemerintah untuk memberantas impor ilegal melalui praktik larangan impor borongan, serta mengurangi kuota impor.