Tersangka Kasus Korupsi e-KTP Ajukan Praperadilan, Soroti Keabsahan Penangkapan Paulus Tannos.
Hari ini, tim penasihat hukum (PH) Paulus Tannos alias Tjhin Thian Po ajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan demikian, permasalahan terkait keabsahan penangkapan terhadapnya menjadi fokus utama sidang perdana praperadilan ini.
Menurut kuasa hukum Paulus Tannos, Damian Agata Yuvens, Surat Perintah Penangkapan yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melewati batas waktu yang diperbolehkan. Menurut Pasal 19 Ayat 1 KUHAP, masa berlaku penangkapan hanya satu hari. Namun, dalam praktiknya, klien mereka dikekang kebebasannya.
"Yang artinya, Surat Perintah Penangkapan yang seharusnya hanya berlaku satu hari, sekarang berlaku lebih dari 280 hari, Yang Mulia," ujar Damian.
Selain itu, objek praperadilan juga tidak mencantumkan identitas klien secara lengkap dan benar. Bagian identitas objek praperadilan hanya menulis kebangsaan Tannos sebagai warga Indonesia, sementara sejak tahun 2019 Tannos juga telah menjadi warga negara lain.
Tempat pemeriksaan juga tidak disebutkan dalam surat perintah penangkapan, sehingga menjadi tolok ukur penghitungan waktu dimulai dan berakhirnya penangkapan. Menurut Damian, tindakan penangkapan terhadap klien semestinya merujuk pada perbuatan material yang dituduhkan.
Namun, menurut pihaknya, terdapat ketidaksesuaian antara dugaan tindak pidana dengan dasar hukum yang dicantumkan dalam surat perintah. "Dan karenanya, menurut kami, tidak memenuhi persyaratan dalam Pasal 18 ayat 1 KUHAP," tuturnya.
Pemohon juga menyebut bahwa surat perintah penangkapan tidak memenuhi syarat Pasal 17 KUHAP karena diterbitkan tanpa bukti permulaan yang cukup. Mereka merujuk putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan minimal dua alat bukti harus disertai pemeriksaan calon tersangka.
Gugatan praperadilan ini dilakukan oleh Paulus Tannos untuk menguji sah tidaknya penangkapan terhadapnya. Menurut Damian, hingga saat ini, klien mereka masih menjalani proses ekstradisi di Pengadilan Singapura.
Hari ini, tim penasihat hukum (PH) Paulus Tannos alias Tjhin Thian Po ajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dengan demikian, permasalahan terkait keabsahan penangkapan terhadapnya menjadi fokus utama sidang perdana praperadilan ini.
Menurut kuasa hukum Paulus Tannos, Damian Agata Yuvens, Surat Perintah Penangkapan yang digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melewati batas waktu yang diperbolehkan. Menurut Pasal 19 Ayat 1 KUHAP, masa berlaku penangkapan hanya satu hari. Namun, dalam praktiknya, klien mereka dikekang kebebasannya.
"Yang artinya, Surat Perintah Penangkapan yang seharusnya hanya berlaku satu hari, sekarang berlaku lebih dari 280 hari, Yang Mulia," ujar Damian.
Selain itu, objek praperadilan juga tidak mencantumkan identitas klien secara lengkap dan benar. Bagian identitas objek praperadilan hanya menulis kebangsaan Tannos sebagai warga Indonesia, sementara sejak tahun 2019 Tannos juga telah menjadi warga negara lain.
Tempat pemeriksaan juga tidak disebutkan dalam surat perintah penangkapan, sehingga menjadi tolok ukur penghitungan waktu dimulai dan berakhirnya penangkapan. Menurut Damian, tindakan penangkapan terhadap klien semestinya merujuk pada perbuatan material yang dituduhkan.
Namun, menurut pihaknya, terdapat ketidaksesuaian antara dugaan tindak pidana dengan dasar hukum yang dicantumkan dalam surat perintah. "Dan karenanya, menurut kami, tidak memenuhi persyaratan dalam Pasal 18 ayat 1 KUHAP," tuturnya.
Pemohon juga menyebut bahwa surat perintah penangkapan tidak memenuhi syarat Pasal 17 KUHAP karena diterbitkan tanpa bukti permulaan yang cukup. Mereka merujuk putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan minimal dua alat bukti harus disertai pemeriksaan calon tersangka.
Gugatan praperadilan ini dilakukan oleh Paulus Tannos untuk menguji sah tidaknya penangkapan terhadapnya. Menurut Damian, hingga saat ini, klien mereka masih menjalani proses ekstradisi di Pengadilan Singapura.