Pembahasan mengenai redenominasi mata uang, yang seringkali menjadi topik perdebatan di kalangan ahli ekonomi dan para pecatur pasar, sekarang lebih menarik untuk dipelajari. Menurut sumber yang terpercaya, kebijakan penyederhanaan penulisan nominal mata uang rupiah dengan menghilangkan tiga digit nol bukanlah hal baru, karena sudah ada sejak 2013 bersama dengan Bank Indonesia.
Rencana kebijakan redenominasi kini kembali bergulir setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menargetkan rampungnya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah alias Redenominasi pada 2026-2027 dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025.
Rencana ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing nasional dan menjaga kepemilikan masyarakat rupiah dengan menghilangkan ketidakpastian harga rupiah yang seringkali membuat investor ragu-ragu. Namun, perlu diingat bahwa kebijakan redenominasi itu juga bisa gagal jika negaranya berakhir mengalami inflasi tinggi atau hiperinflasi setelah kebijakan diterapkan.
Sebagai contoh, Ghana saat memberlakukan kebijakan redenominasi pada 2007 silam. Tingkat inflasinya meningkat sebesar lima persen satu tahun setelah redenominasi. Faktor penyebab kegagalan redenominasi di Ghana adalah 70% uang beredar yang di Ghana berada di luar sistem perbankan.
Sementara itu, Brazil tercatat telah melakukan 6 kali redenominasi yaitu pada 1967 1970, 1986, 1989, 1993, dan 1994. Pelaksanaan redenominasi Brazil di periode 1990an tidak berhasil karena buruknya fundamental perekonomian dan tidak mampunya pemerintah Brazil mengelola indikator makroekonomi.
Dalam beberapa kasus, kegagalan redenominasi telah menyebabkan inflasi tinggi dan hiperinflasi. Oleh karena itu, dari dua kasus ini setidaknya ada 3 faktor yang dibutuhkan agar kebijakan Redenominasi bisa berhasil: (1) Indikator makroekonomi yang kuat, (2) Kondisi eksternal yang mendukung (3) Strategi komunikasi kebijakan publik yang baik.
Dengan demikian, perlu diwaspadai bahwa redenominasi mata uang tidaklah semudah yang dibayangkan. Kebijakan ini memerlukan pemikiran yang matang dan strategi yang cermat untuk dapat membawa dampak positif bagi perekonomian suatu negara.
Rencana kebijakan redenominasi kini kembali bergulir setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menargetkan rampungnya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah alias Redenominasi pada 2026-2027 dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025.
Rencana ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing nasional dan menjaga kepemilikan masyarakat rupiah dengan menghilangkan ketidakpastian harga rupiah yang seringkali membuat investor ragu-ragu. Namun, perlu diingat bahwa kebijakan redenominasi itu juga bisa gagal jika negaranya berakhir mengalami inflasi tinggi atau hiperinflasi setelah kebijakan diterapkan.
Sebagai contoh, Ghana saat memberlakukan kebijakan redenominasi pada 2007 silam. Tingkat inflasinya meningkat sebesar lima persen satu tahun setelah redenominasi. Faktor penyebab kegagalan redenominasi di Ghana adalah 70% uang beredar yang di Ghana berada di luar sistem perbankan.
Sementara itu, Brazil tercatat telah melakukan 6 kali redenominasi yaitu pada 1967 1970, 1986, 1989, 1993, dan 1994. Pelaksanaan redenominasi Brazil di periode 1990an tidak berhasil karena buruknya fundamental perekonomian dan tidak mampunya pemerintah Brazil mengelola indikator makroekonomi.
Dalam beberapa kasus, kegagalan redenominasi telah menyebabkan inflasi tinggi dan hiperinflasi. Oleh karena itu, dari dua kasus ini setidaknya ada 3 faktor yang dibutuhkan agar kebijakan Redenominasi bisa berhasil: (1) Indikator makroekonomi yang kuat, (2) Kondisi eksternal yang mendukung (3) Strategi komunikasi kebijakan publik yang baik.
Dengan demikian, perlu diwaspadai bahwa redenominasi mata uang tidaklah semudah yang dibayangkan. Kebijakan ini memerlukan pemikiran yang matang dan strategi yang cermat untuk dapat membawa dampak positif bagi perekonomian suatu negara.