Kasus pembalakan liar di Hutan Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar) semakin menyerang. Kasus ini melibatkan PT BRN yang diduga menjalankan pembalakan liar secara terorganisasi sejak 2022 hingga 2025 di wilayah Desa Tuapejat dan Desa Betumonga.
Menurut Direktur Tindak Pidana Kehutanan, Kemenhut, Rudianto Saragih Napitu, total potensi kerugian negara karena pembalakan liar ini mencapai Rp1.443.468.404. Namun, jika dihitung secara sementara, maka kerugian negara yang diduga terjadi adalah sebesar Rp447.094.787.281.
Direktur Utama PT BRN dengan inisial IM (29) telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Penyelidikan dan penindakan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kemenhut bersama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum).
Kasus pembalakan liar di Mentawai ini merupakan contoh dari permasalan perizinan dan pengawasan yang kurang efektif. Menurut Direktur Jenderal Gakkum, Kemenhut Dwi Januanto Nugroho, penegakan pidana harus berjalan berdampingan dengan penertiban perizinan dan pengawasan pemegang PBPH.
Kemenhut sendiri telah membekukan sejumlah Persetujuan Pemanfaatan Kayu pada areal PHAT yang bermasalah dan mewajibkan verifikasi alas hak secara ketat oleh dinas kehutanan provinsi. Ke depan, pengawasan terhadap pemegang PBPH dan pelaku usaha kehutanan akan perketat berbasis keterlacakan bahan baku (traceability) dan kepatuhan yang terukur.
"Pelanggaran akan dikenai sanksi berlapis," ujar Dwi.
Menurut Direktur Tindak Pidana Kehutanan, Kemenhut, Rudianto Saragih Napitu, total potensi kerugian negara karena pembalakan liar ini mencapai Rp1.443.468.404. Namun, jika dihitung secara sementara, maka kerugian negara yang diduga terjadi adalah sebesar Rp447.094.787.281.
Direktur Utama PT BRN dengan inisial IM (29) telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Penyelidikan dan penindakan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kemenhut bersama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum).
Kasus pembalakan liar di Mentawai ini merupakan contoh dari permasalan perizinan dan pengawasan yang kurang efektif. Menurut Direktur Jenderal Gakkum, Kemenhut Dwi Januanto Nugroho, penegakan pidana harus berjalan berdampingan dengan penertiban perizinan dan pengawasan pemegang PBPH.
Kemenhut sendiri telah membekukan sejumlah Persetujuan Pemanfaatan Kayu pada areal PHAT yang bermasalah dan mewajibkan verifikasi alas hak secara ketat oleh dinas kehutanan provinsi. Ke depan, pengawasan terhadap pemegang PBPH dan pelaku usaha kehutanan akan perketat berbasis keterlacakan bahan baku (traceability) dan kepatuhan yang terukur.
"Pelanggaran akan dikenai sanksi berlapis," ujar Dwi.