Dalam beberapa tahun terakhir, pelembagaan aktivitas profesi 'influencer' semakin menanamkan kekhawatiran masyarakat. Banyak dari kalangan para pengguna internet yang khawatir hal ini dapat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi serta melindungi mereka dari penyebaran informasi palsu yang dapat mengubah sudut pandang kita, terutama dalam topik sensitif seperti kesehatan hingga keuangan.
Negara-negara lain di Asia mulai menerapkan regulasi memperketat aktivitas profesi 'influencer'. Pada akhir Oktober lalu, Cina resmi mengeluarkan undang-undang baru yang mewajibkan konten kreator daring dan 'influencer' memiliki sertifikasi bidang terkait jika hendak membuat konten terkait topik sensitif. Bahkan di Singapura, pemengaruh wajib menginformasikan jenis konten iklan dan konten organik yang mereka unggah.
Kementerian Komunikasi dan Digital Indonesia (Kemkomdigi) juga mulai mempertimbangkan kebijakan pemerintah Cina terkait aktivitas 'influencer'. Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM), Bonifasius Wahyu Pudjianto, mengatakan bahwa Indonesia harus memantau dan menganalisis kebijakan yang diberlakukan di negara lain sebelum diterapkan di Indonesia.
"Kita harus berhati-hati untuk tidak hanya meniru kebijaksanaan dari luar, tapi juga harus melihat apa kebijaksanaan tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat," katanya.
Khawatir hal ini akan membatasi kebebasan berekspresi dan tidak memungkinkan masyarakat untuk mengekspresikan pendapat mereka secara bebas. Seorang pembuat konten dari Bogor mengatakan bahwa pemerintah harus lebih hati-hati dalam mengatur aktivitas 'influencer'.
"Kita jangan sampai terlalu keras membatasi kebebasan berekspresi dan tidak memungkinkan orang untuk memiliki pendapat yang berbeda," katanya.
Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Syaifa Tania menyatakan bahwa pengelolaan praktik promosi oleh pemengaruh perlu disepakati oleh seluruh pihak. Menurutnya, kredibilitas komunikator sangat penting dalam praktik persuasi.
"Kita harus melihat bagaimana masyarakat akan memperoleh manfaat dari regulasi yang diterapkan," katanya.
Sementara itu, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda menyatakan bahwa aturan di bidang finansial seperti yang diterapkan di Singapura dapat membantu melindungi masyarakat dari penipuan.
Negara-negara lain di Asia mulai menerapkan regulasi memperketat aktivitas profesi 'influencer'. Pada akhir Oktober lalu, Cina resmi mengeluarkan undang-undang baru yang mewajibkan konten kreator daring dan 'influencer' memiliki sertifikasi bidang terkait jika hendak membuat konten terkait topik sensitif. Bahkan di Singapura, pemengaruh wajib menginformasikan jenis konten iklan dan konten organik yang mereka unggah.
Kementerian Komunikasi dan Digital Indonesia (Kemkomdigi) juga mulai mempertimbangkan kebijakan pemerintah Cina terkait aktivitas 'influencer'. Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM), Bonifasius Wahyu Pudjianto, mengatakan bahwa Indonesia harus memantau dan menganalisis kebijakan yang diberlakukan di negara lain sebelum diterapkan di Indonesia.
"Kita harus berhati-hati untuk tidak hanya meniru kebijaksanaan dari luar, tapi juga harus melihat apa kebijaksanaan tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat," katanya.
Khawatir hal ini akan membatasi kebebasan berekspresi dan tidak memungkinkan masyarakat untuk mengekspresikan pendapat mereka secara bebas. Seorang pembuat konten dari Bogor mengatakan bahwa pemerintah harus lebih hati-hati dalam mengatur aktivitas 'influencer'.
"Kita jangan sampai terlalu keras membatasi kebebasan berekspresi dan tidak memungkinkan orang untuk memiliki pendapat yang berbeda," katanya.
Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Syaifa Tania menyatakan bahwa pengelolaan praktik promosi oleh pemengaruh perlu disepakati oleh seluruh pihak. Menurutnya, kredibilitas komunikator sangat penting dalam praktik persuasi.
"Kita harus melihat bagaimana masyarakat akan memperoleh manfaat dari regulasi yang diterapkan," katanya.
Sementara itu, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda menyatakan bahwa aturan di bidang finansial seperti yang diterapkan di Singapura dapat membantu melindungi masyarakat dari penipuan.