MUI Bakal Mengeksplorasi AI, Penyebab Pencarian Agama Baru di Generasi Muda
Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) XI pada 20-23 November 2025 mendatang. Dalam munas ini, MUI akan membahas sejumlah hal termasuk artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang dapat memengaruhi proses pemahaman agama.
Menurut Masduki Baidlowi, Ketua Umum Steering Comittee Munas XI, fenomena AI saat ini sangat kuat di kalangan masyarakat. Bahkan, AI telah digunakan sebagai media pembelajaran agama. Namun, Masduki mengimbau masyarakat untuk tidak menjadikan AI sebagai guru atau penuntun.
"Kita harus menjadikan AI itu bukan sebagai guru dan penuntun tapi sekedar informasi," katanya. Menurut Masduki, AI memiliki potensi yang sangat kuat dalam mempengaruhi proses pemahaman agama, terutama di kalangan generasi muda.
Masduki juga menyebut adanya fenomena "algorithmic religion" yang sangat berbahaya. Ia mengatakan bahwa komunitas ini menggunakan algoritma sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan, tanpa mempertimbangkan sumber daya ulama.
"Mereka (masyarakat) nanya ke algoritma," katanya. "Sementara itu, kita harus menjadikan AI itu bukan sebagai guru, tapi sekedar informasi yang bisa membantu kita untuk memahami agama."
Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah Cholil Nafis juga setuju dengan pernyataan Masduki. Ia menyebut bahwa agama tidak terletak pada algoritma, melainkan pada ulama.
"Oleh karena itu masa depan agama harus tetap ada di ulama. Harus ada di ustaz, harus ada pada sanad-sanad," katanya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) XI pada 20-23 November 2025 mendatang. Dalam munas ini, MUI akan membahas sejumlah hal termasuk artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang dapat memengaruhi proses pemahaman agama.
Menurut Masduki Baidlowi, Ketua Umum Steering Comittee Munas XI, fenomena AI saat ini sangat kuat di kalangan masyarakat. Bahkan, AI telah digunakan sebagai media pembelajaran agama. Namun, Masduki mengimbau masyarakat untuk tidak menjadikan AI sebagai guru atau penuntun.
"Kita harus menjadikan AI itu bukan sebagai guru dan penuntun tapi sekedar informasi," katanya. Menurut Masduki, AI memiliki potensi yang sangat kuat dalam mempengaruhi proses pemahaman agama, terutama di kalangan generasi muda.
Masduki juga menyebut adanya fenomena "algorithmic religion" yang sangat berbahaya. Ia mengatakan bahwa komunitas ini menggunakan algoritma sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan, tanpa mempertimbangkan sumber daya ulama.
"Mereka (masyarakat) nanya ke algoritma," katanya. "Sementara itu, kita harus menjadikan AI itu bukan sebagai guru, tapi sekedar informasi yang bisa membantu kita untuk memahami agama."
Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah Cholil Nafis juga setuju dengan pernyataan Masduki. Ia menyebut bahwa agama tidak terletak pada algoritma, melainkan pada ulama.
"Oleh karena itu masa depan agama harus tetap ada di ulama. Harus ada di ustaz, harus ada pada sanad-sanad," katanya.