Kementerian Keuangan siap mengoptimalkan pembinaan bagi pelaku usaha rokok ilegal melalui pengembangan Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Menurut Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, pendekatan ini diharapkan dapat menjadi strategi pemberantasan yang efektif dan berorientasi jangka panjang untuk mengatasi masalah rokok ilegal di Indonesia.
Menurutnya, pembinaan dan pengintegrasian KIHT akan memberikan kesempatan bagi pelaku usaha kecil dan menengah untuk beroperasi secara legal dan berkontribusi pada penerimaan negara. "Intinya adalah mengintegrasikan mereka ke dalam sistem, bukan membuat mereka semakin terpinggirkan," kata Misbakhun.
Selain itu, Misbkhun juga menekankan pentingnya optimalisasi KIHT sebagai instrumen pembinaan yang dapat menyediakan lingkungan produksi legal, fasilitas bersama, dan pendampingan teknis. Ia diharapkan dapat menjadi jembatan bagi pelaku usaha rokok ilegal yang ingin berubah ke dalam industri resmi.
Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, perlu ada penanggulangan ketat dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap produksi dan peredaran rokok ilegal. Menurutnya, pelaku usaha yang ingin berubah harus difasilitasi, tetapi yang melanggar tetap harus ditindak tegas untuk menjaga keadilan dan kepatuhan dalam industri.
Selain itu, Misbkhun juga menyambut keputusan pemerintah yang tidak akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran rokok pada 2026. Menurutnya, stabilitas tarif ini dapat memberi kepastian bagi industri dan menjaga pasar tetap sehat.
Dengan kombinasi pembinaan, penguatan KIHT, dan stabilitas tarif CHT, diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dan mengatasi masalah rokok ilegal di Indonesia.
Menurutnya, pembinaan dan pengintegrasian KIHT akan memberikan kesempatan bagi pelaku usaha kecil dan menengah untuk beroperasi secara legal dan berkontribusi pada penerimaan negara. "Intinya adalah mengintegrasikan mereka ke dalam sistem, bukan membuat mereka semakin terpinggirkan," kata Misbakhun.
Selain itu, Misbkhun juga menekankan pentingnya optimalisasi KIHT sebagai instrumen pembinaan yang dapat menyediakan lingkungan produksi legal, fasilitas bersama, dan pendampingan teknis. Ia diharapkan dapat menjadi jembatan bagi pelaku usaha rokok ilegal yang ingin berubah ke dalam industri resmi.
Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, perlu ada penanggulangan ketat dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap produksi dan peredaran rokok ilegal. Menurutnya, pelaku usaha yang ingin berubah harus difasilitasi, tetapi yang melanggar tetap harus ditindak tegas untuk menjaga keadilan dan kepatuhan dalam industri.
Selain itu, Misbkhun juga menyambut keputusan pemerintah yang tidak akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran rokok pada 2026. Menurutnya, stabilitas tarif ini dapat memberi kepastian bagi industri dan menjaga pasar tetap sehat.
Dengan kombinasi pembinaan, penguatan KIHT, dan stabilitas tarif CHT, diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dan mengatasi masalah rokok ilegal di Indonesia.